Page 63 - Masa-il-Diniyyah-Buku-Kedua_Dr.-H.-Kholilurrohman-MA
P. 63
Orang-orang Wahhabi hendaklah mengetahui
bahwasanya mereka sembrono dalam menghukumi tasawwuf,
apa salahnya jika harus ada gelar "sufi", sementara para ulama
seperti Ibnu Hibban banyak sekali menyebutkan para perawi
yang terkenal dengan kesufiannya, sebagaimana disebutkan
oleh Imam Ahmad dalam musnadnya: "Menceritakan kepada
kami Musa ibn Khalaf dan beliau termsuk wali abdal". Begitu
juga al-Baihaqy yang banyak meriwayatkan hadits dari ar-
Raudzabary salah seorang sufi terkenal yang juga murid dari
Imam al-Junaid ibn Muhammad radliyallahu 'anhuma. Kalau
pengingkaran mereka itu hanya bertolak dari adanya gelar
"sufi" maka seharusnya mereka juga mengingkari adanya
sebutan "Syeikh .....", karena pada masa-masa awal kebangkitan
Islam sama sekali tidak dikenal adanya gelar "syeikh" untuk
para ulama, begitu juga gelar "Syaikhul Islam" bagi beberapa
ulama yang hidup setelah abad ketiga Hijriyyah, lalu apa
bedanya antara "sufi" dengan "syeikh", dan larangan seperti
apakah yang mencegah adanya penggunaan istilah baru selama
istilah tersebut tidak bertentangan dengan syara', sementara
para ahli nahwu sendiri telah membuat istilah-istilah baru
dalam hal i'rab, seperti: اذك بجُ ،اذك زيجُ ٗ .
Adapun jika mereka menyalahkan gaya hidup para sufi
yang selalu meninggalkan tana'um, maka berarti mereka juga
menyalahkan para nabi, karena gaya hidup yang seperti itu
juga diterapkan oleh para nabi dalam kehidupan mereka.
Seperti Nabi Isa 'alaihissalam yang diceritakan bahwasanya
beliau hanya makan daun-daunan mentah dan hanya memakai
pakaian dari bulu. Begitu juga Nabi Muhammad shallallahu
'alaihi wasallam yang memiliki kebiasaan selama satu atau dua
60