Page 458 - Membersihkan Nama Ibn Arabi_Dr. H. Kholilurrohman, MA
P. 458
Membersihkan Nama Ibn Arabi | 456
Di antara yang dapat membatalkan apa yang dinisbatkan
kaum Musyabbihah kepada Syaikh Abd al-Qadir di atas adalah
sebuah kisah yang benar adanya dari beliau sendiri. Suatu
ketika, Syaikh Abd al-Qadir dalam khlawatnya didatangi Iblis
dalam bentuk cahaya yang indah. Iblis berkata: Wahai hambaku,
wahai Abd al-Qadir, aku adalah tuhanmu, aku halalkan bagimu
segala sesuatu yang telah aku diharamkan dan aku gugurkan
saling bertentangan. Dan satu kelompok moderat yang haq, di tangah-tengah
antara keduanya, ialah Ahlussunnah wal Jama’ah. Dua kelompok ekstrim
tersebut, pertama; kaum Mu’tazilah, berpendapat bahwa Allah tidak memiliki
sifat-sifat termasuk sifat Kalam. Mereka berkesimpulan bahwa al-Qur’an
makhluk. Kelompok ekstrim kedua; Musyabbihah, berpendapat bahwa huruf-
huruf yang tersusun dalam kitab al-Qur’an adalah qadîm. Mereka berkesimpulan
bahwa Allah mengeluarkan huruf-huruf dan bahasa. Keyakinan kedua ini adalah
keyakinan yang ambil kaum Wahhabiyyah sekarang.
Adapun menurut pendapat Ahlussunnah, al-Qur’an atau kalam Allah
memiliki dua pemaknaan. Jika yang dimaksud dengan al-Qur’an adalah al-Kalâm
al-Dzâti atau sifat Kalam Allah maka ia bukan berupa huruf, suara dan bukan
bahasa. Dalam pengertian ini jelas ia sesuatu yang qadîm. Tapi jika yang dimaksud
al-Qur’an adalah yang lafazh-lafazh yang diturunkan, dibawa malaikat Jibrîl,
tersusun dari huruf-huruf, tertulis di atas lembaran-lembaran dengan tinta dan
dibaca dengan lidah, maka jelas ia sesuatu yang baharu (hâdits). Al-Qur’an dalam
pengertian terakhir ini adalah merupakan ungkapan (‘Ibarah) dari al-Kalâm al-
Dzâti. Kesimpulannya tidak boleh diucapkan: “al-Qur’an makhluk”, karena al-
Qur’an bukan buatan malaikat Jibrîl atau Nabi Muhammad. Juga dikhawatirkan
bagi orang mendengar ucapan tersebut berkesimpulan bahwa al-Qur’an benar-
benar makhluk, padahal al-Qur’an memiliki dua pemaknaan sebagaimana
penjelasan di atas. Penjelasan lebih luas lihat kitab-kitab Ahlussunnah dalam
pembahasan terkait. Seperti al-Habasyi, dalam kitabnya Idlhâr al-‘Aqîdah as-
Sunniyyah Bi Syarh al-‘Aqîdah ath-Thahâwiyyah, h. 84-123 dan kitab ad-Durrah al-
Bahiyyah, h. 40-42, juga dalam kitabnya al-MaThalib al-Wafiyyah Bi Syarh al-‘Akidah
an-Nasafiyyah, h. 72-79, al-Baijuri dalam Tuhfah al-Murîd Syarh Jauhar al-Tauhîd, h.
55-56, al-Ghazali dalam al-Arba’în Fi Ushûl al-Dîn, h. 17, dan dalam banyak kitab
lainnya