Page 11 - Kisah perjalanan SUPARDI 2901_tanpa tambahan-1-1-98
P. 11

Aku lebih suka menggembalakan kerbau daripada sapi, karena lebih jinak dan
        mudah  diatur.  Sapi  suka  nakal  dan  lebih  liar.  Aku  pernah  diseruduk  sapi,
        sehingga meninggalkan bekas luka di lengan sampai kini. Saat berangkat atau
        pulang menggembala aku suka naik di punggung kerbau, kadang sambil meniup
        seruling.
        Setelah aku bersekolah di Jogja, pekerjaan menggembala dilanjutkan oleh para
        keponakan .

        Rumah  bapak  besar,  dibangun  di  lahan  pekarangan  yang  cukup  luas,  tetapi

        tidak dilengkapi dengan sumur, kamar mandi, dan wc. Untuk mendapatkan air
        minum,  mandi,  dan  mencuci  pakaian,  kami  harus  ke  rumah  tetangga  yang
        mempunyai sumur atau yang mempunyai blumbang. Sesekali kami pergi mandi
        dan mencuci ke sumber Gedaren atau ke kali Simo.
        Sedang  untuk  wc,  terhampar  di  ladang  dan  di  sawah-sawah.  Bapak  tidak
        membuat blumbang, karena pekarangan bapak berada di ketinggian, sehingga
        tidak  bisa  terjangkau  oleh  aliran  air  irigasi.  Belakangan  bapak  baru  menggali
        sumur,  membangun  kamar  mandi  dan  jumbleng,  setelah  dihimbau  oleh  pak
        lurah   dalam program  pembangunan  rumah  sehat,  walaupun  harus  menggali
        sumur  hingga  kedalaman  20  meter.  Waktu  itu  belum  dikenal  teknologi
        membuat sumur bor atau pantek.
        Blumbang  adalah  kolam  tempat  menampung  air,  tempat  untuk  mandi,  dan
        mencuci pakaian. Jumbleng adalah lubang tempat pembuangan kotoran.

        Tentang Kebiasaan dan Menu Makan
        Kami biasa makan dua kali sehari,  yaitu makan  siang dan sore. Makan siang
        biasanya menjelang waktu zuhur, sepulang dari sawah atau ladang, dan makan
        sore sebelum matahari terbenam, selagi cuaca masih terang. Pagi hari, sarapan,
        biasanya  hanya  makan  cemilan  seadanya,  sesuai  musim.  Apabila  musim
        singkong, kami makan singkong bakar atau rebus, begitu juga apabila musim
        jagung.  Apabila  tidak  sedang  musim,  kami  biasa  makan  grontol,  gatot  atau
        makan  umbi-umbian  yang  lain  seperti  uwi,  gembili,        gadung  bahkan  senthe.
        Kami juga biasa makan cemilan dari biji-bijian yang sudah dikeringkan, dimasak
        dengan cara disangrai, keras apabila dikunyah. Bisa jadi karena cemilan yang
        keras  itu,  membuat  akar  gigi  menjadi  kuat  sehingga  alhamdulillah  sampai
        mencapai umur segini gigiku masih belum ada yang tanggal.

        Menu makanan pokok kami adalah nasi tiwul, dicampur nasi putih, dengan lauk
        seadanya. Yang pasti ada sayur dan sambal, yang bahannya dipetik dari kebun

        sendiri. Kadang ada tahu atau tempe bacem apabila ada pedagang yang mider.
   6   7   8   9   10   11   12   13   14   15   16