Page 13 - Kisah perjalanan SUPARDI 2901_tanpa tambahan-1-1-98
P. 13
Sebagai petani, bapak sangat rajin, biasanya pagi-pagi sebelum matahari terbit,
bapak sudah berangkat ke sawah atau ke ladang. Sebelum berangkat simbok
sudah menyiapkan sarapan berupa teh “nasgithel”, teh “panas” “legi”
“kenthel” dengan gula batu atau gula jawa dan nyamikan seadanya. Untuk
keperluan ini, bapak memiliki teko khusus, buatan Cina asli, bahkan sampai
ngethel.
Seingatku bapak jarang minum kopi. Hanya apabila ada tamu atau berkumpul
keluarga kadang kopi atau “wedang bubuk” disajikan. Di desa, berkumpul
untuk minum teh atau kopi disebut “wedangan” dengan cemilannya disebut
“nyami‟an”.
Sejak bangun pagi, bapak tidak pernah meninggalkan merokok atau ngudud.
Rokok atau udutnya ngelinting sendiri, terdiri dari rajangan daun tembakau
pilihan, dengan saus klembak, menyan atau wuur, dibungkus klobot, kadang
dibungkus kertas papier atau sobekan kertas koran. Belakangan, setelah rokok
buatan pabrik meraja lela, kesukaan bapak adalah rokok kretek “Gudang
Garam Merah” tanpa filter, sampai akhir hayatnya.
Bapak suka berpakaian yang berciri khas, terdiri dari celana komprang warna
hitam, baju surjan lurik, tutup kepala iket warna wulung, dan tidak lupa caping.
Apabila menghadiri acara-cara resmi beliau melengkapi pakaiannya dengan
bebed, dengan tutup kepala blangkon model Jogja, pakai mondholan. Bebed
adalah kain, atau jarik, penutup tubuh bagian bawah lelaki, apabila untuk
perempuan disebut tapeh. Dengan pakaian demikian itu pula bapak menghadiri
acara wisudaku sebagai Prajurit Taruna di Magelang.
Selain sebagai petani, bapak juga dikenal karena biasa membantu mengobati
orang yang menderita penyakit ringan, seperti masuk angin, batuk pilek, perut
kembung, mencret bahkan sakit malaria. Berbagai penyakit itu, diobati dengan
ramuan herbal dan air putih yang sudah dijampi-jampi, sesuai dengan
penyakitnya. Jamu herbal itu diracik sendiri, yang bahannya diperoleh dari
tanaman liar, atau hasil dari kebun. Beberapa bahan yang aku ingat antara lain
kulit pohon pule, daun brotowali, daun sambiloto, daun sembukan, daun
papaya, daun kumis kucing, daun jambu batu, daun dadap srep, kunyit, temu
lawak, temu ireng dan sebangsanya yang ditumbuk halus. Ramuan itu rasanya
sungguh pahit, tetapi diyakini bahwa rasa pahit itulah yang bisa menyembuhkan
berbagai penyakit. Praktik ini dilakukan karena pada waktu itu di desa belum
ada tenaga kesehatan, apalagi dokter. Dokter atau tenaga kesehatan hanya ada
di rumah sakit. Satu-satunya rumah sakit berlokasi di Wonosari, yang harus

