Page 10 - Kisah perjalanan SUPARDI 2901_tanpa tambahan-1-1-98
P. 10
hari. Ladang penggembalaanku adalah di sawah yang selesai dipanen, di tanah
lapang atau di lereng-lereng perbukitan. Sebelum dikandangkan, di siang hari
biasanya aku menggiring kerbau-kerbau itu untuk dimandikan, istilahnya
“diguyang” terlebih dahulu, di sungai, di sumber Gedaren, Kali Simo, atau di
Sanggrahan. Di sore hari kerbau-kerbau itu biasanya dibiarkan kumkum di
lumpur, dengan cara berkubang, agar badannya terlindungi dari gigitan nyamuk.
Di saat-saat menggembala itulah aku berinteraksi dengan teman-teman. Sambil
menggembala, kami bermain, kadang juga sambil belajar, terutama apabila
besoknya menghadapi ulangan atau ujian.
Kami biasa bermain dengan peralatan yang sangat sederhana, dibuat sendiri
dari bahan-bahan yang tersedia. Tidak ada alat permainan seperti sekarang,
apalagi permainan elektronik. Kami suka menyemangati kerbau, sapi, dan
kambing jantan yang berkelahi. Kadang kami juga suka mengadu jangkrik.
Sesekali, berburu burung atau belalang. Dulu di desa masih banyak jenis
burung liar, seperti kuntul, blekok, dan belibis yang suka mencari makan di
sawah. Ada juga burung-burung yang hidup direrimbunan pepohonan seperti
tekukur, pipit, kepodang, jalak, puyuh, elang, gagak, dan lainnya. Bahkan
apabila malam tiba, kalong dan kelelawar pun masih ramai, berseliweran
mencari makan.
Untuk berburu burung, digunakan alat yang disebut ketapel, atau plintheng.
Seingatku, aku belum pernah berhasil menangkap burung dari hasil
plinthengan. Yang sering aku peroleh adalah menangkap burung emprit dengan
cara dipulut.
Kami berburu belalang untuk dibuat lauk. Selain belalang kami juga mencari
jangkrik atau orong-orong. Jangkrik, orong-orong atau belalang goreng itu
renyah dan sungguh gurih, dimakan bersama sambal bawang dan nasi tiwul.
Pekerjaan menggembala ini aku lakukan hingga lulus SMP. Dari mengembala,
aku bisa mengenali karakter setiap hewan peliharaanku, kapan sedang mood,
marah, birahi, haus, atau sakit. Hewan-hewan itu sangat peka terhadap
kemungkinan bahaya, misalnya bisa mengendus apabila di sekitarnya ada ular
berbisa, lubang atau kedung yang dalam.
Tentang ular berbisa, mengingatkan aku pada kejadian yang mengejutkan. Aku
menyaksikan Supali, teman sepenggembalaanku, dipatuk ular berbisa yang
hidup di sela-sela bebatuan, di lereng bukit Melikan. Dalam sekejab kulitnya
menjadi gelap, karena racun dengan cepat masuk ke aliran darahnya. Darahnya
membeku, badannya kejang-kejang, dan dalam waktu singkat nyawanya
melayang. Sungguh mengerikan.

