Page 110 - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Compile 18 Januari 2019
P. 110

Ki Sarmidi
                          Mangunsakoro
                          dan Sri Wulandari
                          pada saat sesudah
                          pernikahan di Taman
                          Siswa
                          (Sumber: Istimewa)
                                                                                                                                                                  Sarmidi  menulis  buku  yang berisi bagaimana  pentingnya  pendidikan  bagi bangsa  dan  anak-anak
                                                                                                                                                                  Indonesia. Buku itu, di antaranya, mengatakan bahwa penyelenggaraan pendidikan nasional bertujuan
                                                                                                                                                                  agar anak-anak kelak menjadi manusia yang berjiwa nasionalis, dalam arti pembawa cita-cita nasional.
                                                                                                                                                                  Dengan demikian hal itu berarti mengganti masyarakat lama dan telah rusak menjadi masyarakat baru,
                                                                                                                                                                  masyarakat nasional yang dapat menjamin kebahagiaan untuk rakyat sebanyak-banyaknya.

                                                                                                                                                                  Pada waktu itu pergerakan nasional semakin berkembang meskipun mengalami hambatan dari
                                                                                                                                                                  pemerintahan kolonial serta perpecahan di dalam organisasi mereka sendiri. Sesuai dengan
                                                                                                                                                                  keadaan tersebut, semakin dalamlah kesadaran Sarmidi bahwa mengetahui warisan kebudayaan
                                                                                                                                                                  bangsa sendiri merupakan suatu keharusan bagi keberhasilan pergerakan nasional. Tentang peran
                                                                                                                                                                  dan kedudukan budaya sendiri di dalam pergerakan nasional terdapat dua pendapat. Pendapat
                                                                                                                                                                  pertama berasal dari kaum politik nasional: bahwa hal-hal kenegaraan yang lebih luas harus ada
                                                                                                                                                                  lebih dulu, karena kehidupan kebudayaan baru terjamin jika pergerakan politik sudah cukup kuat
                                                                                                                                                                  dan berpengaruh. Adapun pendapat kedua berasal dari kaum budaya nasionalis: bahwa lebih dahulu
                                                                                                                                                                  meningkatkan kebudayaan sendiri, yang berarti mempermudah kebebasan politik, sehingga rakyat
                                                                                                                                                                  lebih maju dan dapat menanggung resiko yang dibebankan dalam alam merdeka. Dalam hal ini Taman
                                                                                                                                                                  Siswa menitikberatkan usaha sesuai dengan pendapat yang kedua, meskipun tidak dapat disangkal
                                                                                                                                                                  bahwa sewaktu-waktu Taman Siswa dapat memberikan dorongan berpolitik yang nyata seperti
                                                                                                                                                                  ketika menolak politik pengajaran gubernur dan ketika menghadapi Onderwijs Ordonantie Sekolah
                                                                                                                                                                  Partikelir (Undang-Undang Sekolah Liar).

                                                                                                                                                                  Pada tahun 1937 Ki Sarmidi Mangunsarkoro menulis “Het Nationalisme in de Taman SiswaBeweging
                                                                                                                                                                  (Nasionalisme Dalam Pergerakan Taman Siswa) yang dimuat dalam Nationale Studien No. 2 Tahun 1937.
                                                                                                                                                                  Berdasarkan pengertiannya tentang kebudayaan, Ki Sarmidi Mangunsarkoro mengadakan penelitian
                                                                                                                                                                  tentang nasionalisme di dalam Taman Siswa yang dikaitkan dengan usaha mewujudkan pendidikan
                                                                                                                                                                  nasional. Usaha tersebut ingin dicapai melalui “rencana pelajaran” berdasarkan unsur-unsur kebudayaan
                                                                                                                                                                  sendiri dengan prioritas bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar. Selanjutnya ia menunjukkan segi-
                                                                                                                                                                  segi religi dalam nasionalisme Taman Siswa dan bahwa nasionalisme itu bertujuan untuk mencapai
                                                                                                                                                                  tingkat yang lebih tinggi bagi manusia, yakni kemanusiaan. Dalam tulisan itu ia menjawab pertanyaan
                                                                                                                                                                  apakah nasionalisme dalam Taman Siswa juga bersifat politik. Ia mengungkapkan pendapat Ki Hadjar
                                                                                                                                                                  Dewantara  pada tahun 1933,  yang  menggambarkan hubungan Taman  Siswa dengan pergerakan
                                                                                                                                                                  politik ibarat ladang atau sawah—tempat yang ditanam dan yang dibutuhkan untuk mempertahankan
                                                                                                                                                                  kehidupan—dengan pergerakan politik nasional sebagai pagarnya. Guru Taman Siswa boleh menjadi
                                                                                                                                                                  anggota partai politik, tetapi dilarang keras membawa politik ke ruang sekolah. Setiap guru Taman Siswa
                                                                                                                                                                  harus berjanji memperhatikan dan menaruh kepentingan sekolah di atas segala-galanya dan—sesuai
                                                                                                                                                                  dengan azas perguruan—guru harus menganggap pekerjaan mendidik merupakan tugas hidupnya.

                                                                                                                                                                  Ki Sarmidi Mangunsarkoro juga menjelaskan bagaimana Taman Siswa melihat hubungan nasionalisme
                                                                                                                                                                  dalam  lingkungan  internasional.  Dalam  hal  ini  ia  mengemukakan  “asas  konsentrisitas”  atau  “teori
                                                                                                                                                                  trikon”. Melalui teori trikon ia mengemukakan asas-asas utama pendidikan dalam satu tritunggal, yaitu
                                                                                                                                                                  konfergensi dari bakat dan pendidikan, kontinuitas dalam perkembangan, serta konsentrisitas dalam
                                                                                                                                                                  pendirian tentang masyarakat. Ia menjelaskan bahwa konsentrisitas bersangkut paut dengan masing-
                                                                                                                                                                  masing pribadi memiliki beberapa posisi dalam lingkungan masyarakatnya, yang digambarkannya
                                                                                                                                                                  sebagai lingkaran konsentris. Lingkaran pertama adalah keluarga, lingkaran kedua suku atau keturunan,
                                                                                                                                                                  lingkaran ketiga negara, dan lingkaran keempat seluruh umat manusia. Jumlah lingkaran dapat saja
                                                                                                                                                                  ditambah, tetapi pendirian tidak akan berubah. Setiap orang mempunyai kewajiban dan hak terhadap
                                                                                                                                                                  semua lingkungan kemasyarakatan itu dengan cara sedemikian rupa; bahwa sekarang lingkungan yang
                                                                                                                                                                  satu dan kemudian yang lain lebih banyak menonjol, tergantung pada perkembangan harmonis secara
                                                                                                                                                                  keseluruhannya. Dengan demikian nasionalisme Taman Siswa pada dasarnya tidak pernah bermusuhan




                             98   MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA 1945-2018                                                                                                             MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA 1945-2018  99
   105   106   107   108   109   110   111   112   113   114   115