Page 277 - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Compile 18 Januari 2019
P. 277

Johannes Leimena





               KEHIDUPAN PRIBADI DAN PENDIDIKAN

               Dr. Johannes Leimena, yang lebih akrab dipanggil “Om Jo”, merupakan putra Maluku. Ia dilahirkan di
               Ambon, Maluku, pada 6 Maret 1905,  dari lingkungan keluarga yang dekat dengan dunia pendidikan.
                                                 1
               Ayahnya, Dominggus Leimena, merupakan seorang guru bantu di Ambon. Ibunya, Elizabeth Sulilatu,
               juga seorang guru. Saat Leimena berumur 5 tahun, ayahnya meninggal dan kemudian ibunya menikah
               lagi. Sejak saat itu Leimena diasuh oleh bibinya, yang menikah dengan Jesaya Jeremias Lawalata, juga
               seorang guru sekolah dasar tamatan Kweekschool Ambon. 2

               Guru, dalam masyarakat adat Ambon, termasuk ke dalam golongan atas. Meskipun tugas dan fungsinya
               berbeda, guru sangat dihormati dan disejajarkan dengan pendeta ataupun bangsawan. Mereka sama-
               sama memiliki tugas dan fungsi serta hubungan sosial yang dekat dengan masyarakat. Pada masa
               tersebut seorang guru juga dianggap dekat dengan kebudayaan barat yang dianggap terhormat.

               Leimena bersekolah di Ambonsche Burgerschool Ambon, setingkat dengan sekolah dasar. Pada tahun
               1914 ia pindah ke Cimahi, Jawa Barat, mengikuti pamannya yang mendapat tugas sebagai kepala sekolah
               di daerah itu. Dari Cimahi kemudian ia pindah ke Batavia dan meneruskan pendidikan di Chrustelijke
               Europeesche Lagere School. Karena sekolah tersebut dianggap kurang cocok bagi Leimena, sang paman
               memindahkannya ke Paul Krugerschool di daerah Kwitang, yang merupakan salah satu sekolah paling baik
 Masa Jabatan  pada waktu itu.  Kehidupan keseharian Leimena remaja sangat disiplin. Ia selalu mengerjakan pekerjaan
                             3
 21 Februari - 27 Maret 1966  rumah, seperti mencuci piring dan mencuci bajunya sendiri serta membantu urusan dapur. Untuk pergi

               ke sekolah pun ia lakukan dengan berjalan kaki.

               Setelah menamatkan pendidikan dasar, pamannya memasukkan Leimena ke MULO. Berbeda dengan
               sekolah dasar Paul Kruger yang kebanyakan siswanya anak-anak Belanda, siswa MULO lebih beragam.
               Leimena  menyelesaikan pendidikan MULO pada  tahun 1922, kemudian melanjutkan pendidikan
               ke STOVIA, sekolah tinggi di bidang  kedokteran. STOVIA berangsur-angsur dilebur dan menjadi
                                        4
               Geneeskunde Hoogeschool  dengan lama pendidikan delapan tahun, yang dibagi menjadi dua bagian:
               masa persiapan dan bagian spesialisasi kedokteran.

               Atas inisiasi pelajar STOVIA yang berasal dari Ambon dan sekitarnya pada tahun 1917 dibentuklah
               Jong Ambon dengan ketua pertamanya Stoviaan J. Kayadu. Pada awalnya organisasi ini dibentuk untuk
               menyalurkan hobi para anggotanya, yakni olah raga sepak bola, dan belum ada pandangan menuju
               gerakan  ideologis  ataupun  politis. Sebagai bagian  dari STOVIA, Leimena  turut  ambil bagian  dalam
               kegiatan organisasi ini. Pada tahun 1924 muncul kebutuhan suatu organisasi yang  mengedepankan
               kegiatan kebudayaan dan ideologis yang tidak hanya kegiatan olahraga. Maka dibentuklah Vereniging
               Ambonsche Studenten (VAS) dengan ketua pertamanya Toule Salehuwey, yang merupakan seorang
               mahasiswa Rechts Hoge School (RHS).  Lambat laun dua organisasi ini saling melengkapi dan memiliki
                                                  5
               irisan: anggota yang saling bergiat dalam kedua organisasi tersebut.


               PERGUMULAN PEMIKIRAN DAN POLITIK

               Pada waktu itu Leimena berpikir belum ada kesadaran identitas tunggal dari apa yang disebut dengan
               “masyarakat Maluku” di lingkungannya. Kurangnya kesadaran identitas ini disebabkan oleh masih
               terpolarnya aktivitas masyarakat Maluku di Batavia. Belum terdapat suatu wadah yang dapat menyatukan
               mereka agar muncul suatu gerakan kebersamaan. Polarisasi ini didukung oleh kebijakan pemerintah
               kolonial yang sangat menekankan perbedaan status dalam masyarakat, sehingga masyarakat jarang




 264  MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA 1945-2018  MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA 1945-2018  265
   272   273   274   275   276   277   278   279   280   281   282