Page 82 - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Compile 18 Januari 2019
P. 82

Ali Sastroamidjojo





                                                                                                                                                                  MASA KECIL DAN PENDIDIKAN

                                                                                                                                                                  Ali Sastroamidjojo dilahirkan pada tanggal 21 Mei 1903 di Grabag Merbabu, suatu daerah di kaki Gunung
                                                                                                                                                                  Merbabu, lebih kurang 20 km dari Magelang. Sebagai ibukota kewedanan Grabag Merbabu memang

                                                                                                                                                                  dapat dinamakan kota, walaupun sifat dan jiwa masyarakatnya kedesa-desaan. Ayah Ali bernama R.Ng.

                                                                                                                                                                  Sastroamidjojo, seorang pensiunan pegawai negeri, anak R. Wirjodipuro Wedana Batur, Banyumas.
                                                                                                                                                                  Ayah Ali bekerja di kantor Bupati Magelang Raden Tumenggung Ario Danuningrat II. Sastroamidjojo
                                                                                                                                                                  bekerja dengan sangat rajin sehingga mendapat penghargaan dan kepercayaan bupati. Setelah beberapa

                                                                                                                                                                  tahun bekerja sebagai magang, Sastroamidjojo naik pangkat menjadi jurutulis, kemudian dinikahkan
                                                                                                                                                                  dengan Kustiah, anak nomer 19 Bupati Magelang.

                                                                                                                                                                  Setelah menikah Sastroamidjojo naik pangkat menjadi asisten wedana dan beberapa tahun kemudian
                                                                                                                                                                  menjadi Wedana Jetis, Kabupaten Temanggung. Pada zaman itu seorang pegawai negeri yang menjadi
                                                                                                                                                                  menantu bupati dapat dinaikkan pangkat dengan agak cepat. Dari hasil pernikahan tersebut lahir dua

                                                                                                                                                                  belas orang anak, enam laki-laki dan enam perempuan. Setelah pensiun Sastroamidjojo pindah ke Grabag
                                                                                                                                                                  Merbabu. Di sanalah Ali dan adiknya, Usman, lahir. Untuk menambah uang pensiun Sastroamidjojo
                                                                                                                                                                  bekerja sebagai mantri garam, yaitu pegawai penjual garam yang menjadi monopoli pemerintah.

                             Masa Jabatan                                                                                                                         Ali masuk sekolah desa untuk belajar membaca, menulis, dan berhitung bersama dengan teman-teman
                             3 Juli 1947 - 4 Agustus 1949                                                                                                         desanya yang merupakan anak petani. Sekolah desa tidak memuaskan hati Sastroamidjojo, apalagi ketika
                                                                                                                                                                  kakak-kakak Ali yang bersekolah di kedokteran dan teknik datang dari Semarang dan Jakarta untuk
                                                                                                                                                                  berlibur. Mereka menganjurkan Ali dan Usman belajar bahasa Belanda, sebab pandai berbahasa Belanda
                                                                                                                                                                  merupakan kunci kemajuan, tetapi sekolah Belanda pada waktu itu hanya terbuka untuk anak-anak orang
                                                                                                                                                                  Belanda dan anak-anak orang Indonesia kelas bangsawan atau priyayi tinggi. Karena sekolah desa tidak

                                                                                                                                                                  mengajarkan bahasa Belanda Sastroamidjojo mengambil keputusan pindah ke Magelang. Rumah Ali di
                                                                                                                                                                  Grabag dijual untuk membeli rumah di Jalan Kerkopan no. 11 di Magelang.

                                                                                                                                                                  Perjuangan ayah Ali untuk memasukan anaknya ke sekolah berbahasa Belanda tidak berjalan mulus.
                                                                                                                                                                  Awalnya Ali ditolak karena belum dapat berbahasa Belanda, sedang ayahnya hanya pensiunan pegawai
                                                                                                                                                                  negeri yang tidak dapat berbahasa Belanda. Meskipun demikian Sastroamidjojo pantang menyerah.
                                                                                                                                                                  Pada sore hari Ali disekolahkan pada seorang guru bahasa Belanda, Tuan Westendorp namanya. Baru

                                                                                                                                                                  kemudian Ali diterima di sekolah Belanda nomer dua.  Murid-muridnya kebanyakan anak-anak Indo-
                                                                                                                                                                  Belanda yang nakal dan sering bertindak kejam terhadap anak Indonesia seperti Ali.  Oleh karena

                                                                                                                                                                  suasana sekolah Belanda yang sangat tidak menyenangkan, Ali hanya bertahan selama satu tahun di
                                                                                                                                                                  sekolah tersebut. Sastroamidjojo berusaha keras memindahkan Ali ke sekolah Belanda nomer satu.
                                                                                                                                                                  Kehidupan  Ali  kecil  memang  merupakan  hasil kebijaksanaan  orang  tuanya.  Ali, dalam  buku  yang
                                                                                                                                                                  ditulisnya, mengucapkan terima kasih kepada orang tuanya karena pengatahuan Ali tentang bahasa Jawa
                                                                                                                                                                  dan agama Islam setidak-tidaknya menjadi pengerem ketotalan pengaruh pendidikan dan kebudayaan
                                                                                                                                                                  Belanda dalam pertumbuhan jiwa dan pemikirannya.
                                                                                                                                                                  Pendidikan Ali berlangsung dengan lancar. Pada tahun 1918, ketika berada di kelas tujuh di Eerste
                                                                                                                                                                  Europese Lagere School, Ali harus  mengikuti ujian untuk melanjutkan sekolah. Terdapat tiga
                                                                                                                                                                  kemungkinan sekolah yang dapat diikuti Ali, yakni 1) sekolah pamongpraja di Magelang, 2) sekolah
                                                                                                                                                                  teknik di Surabaya, dan 3) sekolah Hogere Burger School (HBS) yang berada di Semarang, Surabaya,
                                                                                                                                                                  dan Jakarta. Akhirnya Ali melanjutkan ke HBS Jakarta.

                                                                                                                                                                  Kehidupan di HBS sangat berbeda dengan kehidupannya di Magelang. Pandangan Ali yang semula
                                                                                                                                                                  terbatas dan serba sempit, mulai berkembang dan menjadi lebih luas saat berada di Jakarta. Dalam




                             70   MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA 1945-2018                                                                                                             MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA 1945-2018  71
   77   78   79   80   81   82   83   84   85   86   87