Page 83 - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Compile 18 Januari 2019
P. 83

Ali Sastroamidjojo





               MASA KECIL DAN PENDIDIKAN

               Ali Sastroamidjojo dilahirkan pada tanggal 21 Mei 1903 di Grabag Merbabu, suatu daerah di kaki Gunung
               Merbabu, lebih kurang 20 km dari Magelang. Sebagai ibukota kewedanan Grabag Merbabu memang

               dapat dinamakan kota, walaupun sifat dan jiwa masyarakatnya kedesa-desaan. Ayah Ali bernama R.Ng.

               Sastroamidjojo, seorang pensiunan pegawai negeri, anak R. Wirjodipuro Wedana Batur, Banyumas.
               Ayah Ali bekerja di kantor Bupati Magelang Raden Tumenggung Ario Danuningrat II. Sastroamidjojo
               bekerja dengan sangat rajin sehingga mendapat penghargaan dan kepercayaan bupati. Setelah beberapa

               tahun bekerja sebagai magang, Sastroamidjojo naik pangkat menjadi jurutulis, kemudian dinikahkan
               dengan Kustiah, anak nomer 19 Bupati Magelang.

               Setelah menikah Sastroamidjojo naik pangkat menjadi asisten wedana dan beberapa tahun kemudian
               menjadi Wedana Jetis, Kabupaten Temanggung. Pada zaman itu seorang pegawai negeri yang menjadi
               menantu bupati dapat dinaikkan pangkat dengan agak cepat. Dari hasil pernikahan tersebut lahir dua

               belas orang anak, enam laki-laki dan enam perempuan. Setelah pensiun Sastroamidjojo pindah ke Grabag
               Merbabu. Di sanalah Ali dan adiknya, Usman, lahir. Untuk menambah uang pensiun Sastroamidjojo
               bekerja sebagai mantri garam, yaitu pegawai penjual garam yang menjadi monopoli pemerintah.

 Masa Jabatan  Ali masuk sekolah desa untuk belajar membaca, menulis, dan berhitung bersama dengan teman-teman
 3 Juli 1947 - 4 Agustus 1949  desanya yang merupakan anak petani. Sekolah desa tidak memuaskan hati Sastroamidjojo, apalagi ketika
               kakak-kakak Ali yang bersekolah di kedokteran dan teknik datang dari Semarang dan Jakarta untuk
               berlibur. Mereka menganjurkan Ali dan Usman belajar bahasa Belanda, sebab pandai berbahasa Belanda
               merupakan kunci kemajuan, tetapi sekolah Belanda pada waktu itu hanya terbuka untuk anak-anak orang
               Belanda dan anak-anak orang Indonesia kelas bangsawan atau priyayi tinggi. Karena sekolah desa tidak

               mengajarkan bahasa Belanda Sastroamidjojo mengambil keputusan pindah ke Magelang. Rumah Ali di
               Grabag dijual untuk membeli rumah di Jalan Kerkopan no. 11 di Magelang.

               Perjuangan ayah Ali untuk memasukan anaknya ke sekolah berbahasa Belanda tidak berjalan mulus.
               Awalnya Ali ditolak karena belum dapat berbahasa Belanda, sedang ayahnya hanya pensiunan pegawai
               negeri yang tidak dapat berbahasa Belanda. Meskipun demikian Sastroamidjojo pantang menyerah.
               Pada sore hari Ali disekolahkan pada seorang guru bahasa Belanda, Tuan Westendorp namanya. Baru

               kemudian Ali diterima di sekolah Belanda nomer dua.  Murid-muridnya kebanyakan anak-anak Indo-
               Belanda yang nakal dan sering bertindak kejam terhadap anak Indonesia seperti Ali.  Oleh karena

               suasana sekolah Belanda yang sangat tidak menyenangkan, Ali hanya bertahan selama satu tahun di
               sekolah tersebut. Sastroamidjojo berusaha keras memindahkan Ali ke sekolah Belanda nomer satu.
               Kehidupan  Ali  kecil  memang  merupakan  hasil kebijaksanaan  orang  tuanya.  Ali, dalam  buku  yang
               ditulisnya, mengucapkan terima kasih kepada orang tuanya karena pengatahuan Ali tentang bahasa Jawa
               dan agama Islam setidak-tidaknya menjadi pengerem ketotalan pengaruh pendidikan dan kebudayaan
               Belanda dalam pertumbuhan jiwa dan pemikirannya.
               Pendidikan Ali berlangsung dengan lancar. Pada tahun 1918, ketika berada di kelas tujuh di Eerste
               Europese Lagere School, Ali harus  mengikuti ujian untuk melanjutkan sekolah. Terdapat tiga
               kemungkinan sekolah yang dapat diikuti Ali, yakni 1) sekolah pamongpraja di Magelang, 2) sekolah
               teknik di Surabaya, dan 3) sekolah Hogere Burger School (HBS) yang berada di Semarang, Surabaya,
               dan Jakarta. Akhirnya Ali melanjutkan ke HBS Jakarta.

               Kehidupan di HBS sangat berbeda dengan kehidupannya di Magelang. Pandangan Ali yang semula
               terbatas dan serba sempit, mulai berkembang dan menjadi lebih luas saat berada di Jakarta. Dalam




 70  MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA 1945-2018  MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA 1945-2018  71
   78   79   80   81   82   83   84   85   86   87   88