Page 97 - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Compile 18 Januari 2019
P. 97

Teuku Muhammad
                                                                                                             Hasan dan Pocut
                                                                                                             Hijo setelah menikah
                                                                                                             (Sumber: Istimewa)


 pelatihan ayahnya, bahkan juga belajar membuat peluru sendiri, karena berburu merupakan tradisi
 kaum bangsawan Aceh pada zaman itu. Demikian pula ia sering diajak berjalan kaki ayahnya ke sawah
 untuk mengawasi pengairan, terutama dalam pembagian air sawah agar merata bagi setiap petani;
 bahkan ia juga ikut bertanam tembakau di sawah atau memangkas tembakau di perkebunannya di
 antara para petani sekampungnya.

 Sejak kecil Hasan dipupuk dengan jiwa keagamaan (Islam), sebab—menurut pendapat orang tuanya—
 bagaimanapun cakap dan terampil seorang pemimpin kalau tidak dilandasi dengan jiwa keagamaan
 yang kuat kepemimpinannya dapat dipastikan akan sumbang dan tidak pernah sempurna. Orang yang
 teguh berpegang pada prinsip agama dengan sendirinya nilai-nilai keanusiaan pun akan terpateri kuat di
 dadanya. Oleh karena itu sejak awal TM Hasan diajarkan mengerjakan sembahyang dan tidak pernah
 meninggalkan  sembahyang  lima  waktu. Pengaruh  pendidikan  keagamaan  keluarganya  sangat  kuat

 sehingga ketika melanjutkan pendidikan ke Belanda sekalipun ia selalu taat beribadat. Pelajaran agama
 TM Hasan setahap demi setahap meningkat, dari membaca ayat-ayat suci Al-Quran hingga ilmu fiqih,
 tafsir, dan hadist tingkat mula.

 Hasan masuk ke sekolah Belanda Volkschool (Sekolah Rakyat) sebagai layaknya seorang anak uleebalang
 pada masa itu yang berhak bersekolah di sekolah Belanda di Lampoih Saka, ibukota Kecamatan Peukan Baro

 sekarang, pada tahun 1914 ketika umurnya menginjak 8 tahun. Beberapa bulan kemudian ia meninggalkan
 sekolah itu dan baru pada tahun 1915 orang tuanya mengantarkannya kembali ke sekolah tersebut. Sejak
 itu ia belajar dengan tekun. Ia cepat menguasai pelajaran, terutama pelajaran berhitung, salah satu pelajaran
 yang dianggap cukup penting pada masa itu. Selain itu pelajaran huruf Arab bahasa Melayu—dalam bahasa
 Aceh sering disebut huruf Jawi atau Jawoe—juga bukan mata pelajaran yang sukar baginya, sebab ia sudah
 belajar sejak masa kanak-kanak pada guru agama, terutama pada neneknya sendiri, Cut Halimah.

 Suatu  ketika  pada  saat  di Sekolah  Rakyat  TM  Hasan  mendapat  hukuman  gurunya  karena  datang
 terlambat. Tangannya dipukul dengan rotan. Gurunya tidak tahu bahwa ia anak seorang uleebalang.
 Setelah mengetahui bahwa murid yang dihukum itu anak Uleebalang Pineuguru guru tersebut bergegas
 menemuinya dan memohon maaf. TM Hasan berkata pada gurunya bahwa hukuman itu sudah wajar
 baginya karena datang terlambat.

 TM Hasan hanya dua tahun bersekolah di Volkschool karena ayahnya memindahkannya ke sekolah
 Belanda, Europeesche Lagere School (ELS), di Sigli. ELS merupakan sekolah anak raja (uleebalang),
 anak bangsawan, dan anak orang terkemuka. Anak Belanda yang bersekolah di ELS hanya dua orang,
 yakni anak asisten residen dan anak Kontrolir Sigli. Ada beberapa orang anak Indo, anak orang
 Manado, serta anak orang Ambon berpangkat tinggi dalam ketentaraan Belanda. Semasa di sekolah

 ELS Hasan belajar mengaji pada seorang ulama terkemuka zaman itu, Tengku Alibasyah, Wakil Kadhi
 Landschap Pineung.

 Setelah tujuh tahun bersekolah di ELS (1917-1924) Hasan ditawari ikut ujian masuk Koningen Wilhelmnia
 School (KWS) di Batavia. Ia menerima tawaran tersebut, meskipun seandainya tidak mengikuti ujian
 di Batavia ia dapat melanjutkan sekolah Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs (MULO) di Kutaraja tanpa
 perlu mengikuti ujian. Pada tahun 1924 Hasan meninggalkan kampung halamannya pergi ke Batavia,
 tetapi sebelum pergi ia dinikahkan dengan sepupunya, Pocut Hijo, anak pamannya, Teuku Manyak atau
 dikenal dengan Teuku di Tiba. TM Hasan dan Pocut Hijo menikah di Kuta Tuha, di rumah kediaman
 pamannya. Penduduk desa meramalkan bahwa barangsiapa menikah di Kuta Tuha kelak akan menjadi
 orang besar dan ternama. Pada saat mendengar ramalan penduduk desa tersebut TM Hasan hanya
 mengucapkan “Amin”.

 Meskipun telah berkeluarga bukan berarti sekolahnya terlantar; bahkan sebaliknya ia semakin tekun
 belajar. Dari pihak istrinya ia memperoleh dorongan moral untuk terus memperdalam ilmu pengetahuan.




 84  MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA 1945-2018  MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA 1945-2018  85
   92   93   94   95   96   97   98   99   100   101   102