Page 118 - hujan
P. 118
memilih menjadi relawan medis. Pilihan itu membawa mereka akhirnya dapat
menentukan dengan baik akan melanjutkan sekolah di mana.
”Aku sepertinya sudah tahu mau menjadi apa, Lail,” Maryam berkata.
Bus kota rute 7 yang mereka tumpangi lengang. Sudah pukul sembilan malam,
tidak banyak lagi penduduk yang bepergian. Suhu udara menyentuh lima derajat
Celsius. Jadwal latihan harian mereka baru saja berakhir lima belas menit lalu.
” Perawat, bukan?”
” Bagaimana kamu tahu?” Maryam menatapnya.
Lail nyengir lebar. ” Itu mudah ditebak.”
Maryam terlihat kesal. ”Seharusnya kamu tidak merusak per cakapan.
Seharusnya kamu bertanya balik, ‘Oh ya, kamu mau jadi apa, Maryam?’ Dan
aku akan menjawabnya dengan yakin, ‘ Perawat!’ Begitu.”
Lail tertawa kecil, kembali menatap ke luar jendela. Bus kota sedang menaiki
tanjakan—tempat dulu Esok menyusulnya de ngan sepeda. Apa kabar Esok?
Bagaimana dengan proyek mesin nya? Minggu-minggu ini, entah apa
penyebabnya, Lail ingin se kali menghubungi Esok, meneleponnya. Tapi dia
selalu batal melakukannya. Lail tidak pernah berani.
” Bagaimana denganmu, Lail?” Maryam bertanya.
” Bagaimana apa?” Lail menoleh.
”Astaga! Kamu bahkan melamun saat sedang bicara dengan ku.”
”Aku tidak melamun. Aku hanya menatap ke luar jendela.”
Maryam menepuk dahi, tidak percaya. ”Omong-omong, kamu ingin menjadi
apa?”
” Perawat,” Lail menjawab singkat.
Lengang sejenak.
Dua sahabat baik itu tertawa bersama-sama.
***
Mereka tiba di panti sosial setengah jam kemudian. Mereka turun dari bus kota
rute 7, merapatkan jaket, udara terasa di ngin. Mereka berjalan bersisian menuju
lantai dua, menaiki anak tangga. Langkah mereka terhenti di ruang bersama.