Page 113 - hujan
P. 113
kecil Lail.
***
Besoknya, Lail mengantar Esok di stasiun kereta cepat, sambil membawa ransel
besar.
Di sana sudah ada istri Wali Kota dan Claudia. Mereka me nyapa Lail dengan
hangat, bertanya apa kabar. Bertanya soal seragam relawan yang dia kenakan. Itu
pertanyaan yang mudah dijawab. Yang sulit, Lail sedikit kikuk saat ditanya
kenapa tidak pernah mengunjungi rumah mereka. Kesibukan latihan relawan
menjadi alasan Lail.
Sepuluh menit berlalu. Penumpang harus naik ke atas kapsul kereta. Esok
memperbaiki posisi topi birunya, berpamitan, melangkah masuk ke dalam
kapsul. Tiga puluh detik kemudian, kapsul kereta sudah melesat cepat
meninggalkan stasiun.
” Kamu ingin pulang bersama kami, Lail?” istri Wali Kota me nawarkan.
Lail menggeleng. ”Aku harus segera berkumpul di meeting point, Bu. Stasiun
peron tujuh. Pagi ini kami berangkat ke Sektor 4. Penugasan pertama dari
organisasi.”
”Oh. Itu bagus sekali.” Istri Wali Kota menepuk-nepuk lengan Lail dengan
bangga.
”Selamat bertugas, Lail.” Claudia tersenyum. Mereka ber pisah.
Lail berlari-lari kecil menuju peron tujuh. Di sana sudah me nunggu puluhan
relawan, termasuk Maryam yang menatapnya penuh selidik. Tapi Maryam tidak
bertanya ke mana saja Lail tiga puluh menit terakhir menghilang. Beberapa
relawan senior me meriksa kelengkapan, memastikan semua peralatan telah di-
bawa, lantas berseru dengan pengeras suara, menyuruh semua naik ke atas
kapsul kereta. Mereka akan naik kereta cepat ke kota terdekat Sektor 4 tersebut.
Lail duduk di kursi dekat jendela, menatap keluar. Ini per tama kalinya dia
keluar kota setelah bencana gempa bumi. Dulu waktu masih kecil, Lail sering
diajak ayahnya mengunjungi ke rabat di kota lain, juga menjenguk kakek dan
neneknya di pe desaan. Itu perjalanan yang menyenangkan. Menatap hamparan