Page 111 - hujan
P. 111
”Sepertinya tidak akan bisa dicegah, Lail. Ilmuwan negara-negara subtropis
sudah sejak setahun lalu siap menerbangkan pesawat ulang-alik yang akan
melepaskan gas penetralisasi emisi sulfur dioksida.”
” Bagaimana jika mereka malah merusak lapisan itu?”
Esok mengembuskan napas. ” Universitasku menolak secara resmi rencana itu.
Secara sederhana intervensi itu sama seperti seember air keruh diberi tawas,
airnya menjadi jernih, bisa di guna kan. Tapi ini bukan seember air, melainkan
lapisan udara seluruh bumi. Tidak bisa dikontrol, apalagi diminimalisasi dam-
pak nya.”
”Apa yang akan terjadi jika lapisan itu rusak?”
” Eh, Lail, kenapa kita memilih percakapan berat ini?” Esok kembali menatap
Lail.
” Jawab saja, Esok. Aku hanya penasaran.” Lail terlihat serius.
” Tidak ada yang tahu, Lail. Hanya teori-teori, ilmuwan belum pernah
memodiJkasi iklim seperti itu. Bisa saja suhu dunia men jadi tidak terkendali,
semakin ekstrem, atau kemungkinan lain nya, langit berubah warna menjadi pink
dan muncul awan ungu.” Esok mencoba bergurau.
Lail menghela napas, menatap burung-burung merpati di dekat bangku
mereka.
Esok segera mengalihkan percakapan. Tentang teman-teman kuliahnya—para
kutu buku, tentang dosen-dosennya, asramanya, juga proyek mesinnya. Lail
mendengarkan setiap kata Esok, me natap kagum. Itu terdengar seru sekali. Esok
berganti topik, ber cerita tentang suasana Ibu Kota. Megapolitan itu dihuni dua
puluh juta orang sebelum gempa bumi, tiga tahun berlalu sejak bencana, pen-
duduknya sudah pulih seperti sedia kala. Banyak penduduk dari kota-kota lain,
pedesaan, migrasi ke sana. Satu di antara dua kota yang telah pulih, kategori
Sektor 6. Ibu Kota me miliki ba nyak gedung tinggi, kereta layang, teknologi
paling mutakhir. Bahkan beberapa penduduk sudah meng guna kan mobil
generasi ter baru—mobil terbang.
”Aku tetap lebih suka kota kita,” Lail berkata pelan.