Page 107 - hujan
P. 107
13
SEPEDA merah itu meninggalkan tempat latihan relawan. Lail duduk di jok
belakang.
” Bagaimana sekolahmu, Lail?”
” Membosankan. Seperti biasa.”
” Tahun depan kamu sudah masuk universitas. Kamu se harusnya mulai serius.”
Lail nyengir lebar. ”Sejak kapan kamu menjadi orangtuaku?”
Esok tertawa. ” Kamu tidak berencana masuk universitas?”
” Belum tahu. Aku lebih suka jadi relawan.”
Diam sejenak.
”Omong-omong, itu tadi keren sekali, Lail. Aku tidak tahu kamu mendaftar
menjadi relawan. Aku baru tiba di kota ini tadi malam. Pagi-pagi minta izi n
kepada orangtua angkatku agar bisa menemuimu. Kamu tidak ada di panti
sosial. Pengawas bertubuh besar itu yang memberitahu. Bagaimana kamu bisa
mendaftar di Organisasi Relawan?”
” Itu ide Maryam. Dia bosan menghias kue.”
Sepeda merah pudar itu terus melaju, melintasi kompleks-kompleks
perumahan baru, gedung-gedung baru. Pohon berbaris terlihat menghijau.
Taman-taman kota terlihat indah, warna-warni, seperti sebelum terjadi gempa
besar. Bus kota, trem, dan mobil penduduk berlalu-lalang.
Tujuan pertama mereka adalah lubang tangga darurat kereta bawah tanah.
Lubang itu sudah ditutup permanen dengan cor semen. Di atasnya diletakkan
banyak pot bunga, menjadi taman kecil di dekat perempatan jalan. Jalur kereta
bawah tanah di tutup total, proyek perbaikannya tidak akan dilakukan hingga