Page 109 - hujan
P. 109
pulih. Dia bisa membuat kue-kue lagi. Andai saja Maryam bisa ke sini, dia akan
tahu bahwa menghias kue bukan sekadar untuk menghabiskan waktu, tapi juga
bisa membuat baha gia.
”Orangtua angkatku yang membangun toko ini, Lail. Dibuat sama persis
seperti ibuku bisa mengingatnya. Ibu masih tinggal di rumah mereka, datang ke
sini setiap pagi dan menutup toko ini sore hari. Ibu sudah jauh lebih sehat, tapi
tetap harus di rawat,” Esok menjelaskan.
” Kamu bisa membuat kue, Nak?” ibu Esok bertanya.
Lail menoleh. Membuat kue?
”Ayo, kamu bisa membantu Ibu menyelesaikan pesanan di dapur.”
Lail mengangguk.
***
Hampir dua jam Lail menghabiskan waktu di toko kue. Dia mengobrol banyak
bersama ibu Esok saat membuat kue, ber cakap-cakap tentang kenangan di tenda
pengungsian. Ibu Esok bercerita tentang keempat anak laki-lakinya yang telah
tiada, ber tanya soal keluarga Lail, hingga tentang panti sosial. Percakapan
mereka terpotong beberapa kali oleh pengunjung yang hendak membeli kue.
Esok duduk di dekat mereka, memperhatikan penuh saksama Lail dan ibunya,
menonton.
Kue itu selesai dibuat.
” Kamu pandai menghiasnya, Lail,” ibu Esok memuji.
”Sebelum jadi relawan, Lail pernah kursus membuat kue, Bu,” Esok yang
berkomentar.
”Oh ya? Pantas saja. Tapi kenapa berhenti?”
” Dia bosan, Bu.” Esok tertawa.
” Bosan membuat kue?”
Lail melotot ke arah Esok. Bukan dia yang bosan, melainkan Maryam.
Lima belas menit berlalu, Esok berpamitan kepada ibunya. Mereka hendak
pergi ke kolam air mancur kota, Central Park.
Ibu Esok mengangguk, mengantar hingga ke tepi jalan. Kursi roda itu