Page 105 - hujan
P. 105

Mereka  tiba  di  lapangan  tepat  waktu.  Ada  54  relawan  yang  di lantik  pagi  ini

                dari  seratus  orang  yang  memulai  pelatihan  se tahun  lalu.  Sisanya  mengundurkan

                diri atau tidak lulus.
                  Komandan      markas   Organisasi    Relawan    memimpin     upacara   pelantikan,   juga

                hadir   banyak   relawan   senior,   pejabat   pemerintah,   petugas   medis,   dan   marinir

                yang   memenuhi      lapangan.   Ini   acara   tahunan   yang   penting   bagi   organisasi,
                sekaligus  reuni.  Bencana  gunung  meletus  tiga  tahun  lalu  membuat  banyak  per-

                sahabatan baru, menemukan keluarga baru di antara mereka.

                  Saat  pin  relawan  disematkan  ke  peserta  ke-54,  lapangan  itu  ramai  oleh  tepuk
                tangan.   Resmi   sudah   mereka    menjadi   anggota   organisasi.   Acara   telah   selesai,

                dilanjutkan    ramah-tamah.      Maryam     berseru-seru    nyaring,   juga   relawan   baru

                lainnya.   Mereka    ber peluk an.   Entah   siapa   yang   memulai,   salah   satu   relawan
                diangkat  ramai-ramai,  kemudian  diceburkan  ke  kubangan  lumpur  tadi  malam.

                Mereka tertawa. Beberapa relawan lain ikut di cebur kan.

                  Lail  bergegas  menjauh  dari  lapangan,  menatap  keramaian  sambil  tertawa.  Dia
                tidak   ingin   masuk   lagi   ke   kubangan   lumpur.   Dia   memilih   berteduh   di   bawah

                salah   satu   pohon,   melepas   pin   di   seragamnya,   menatapnya    lebih   dekat.   Pin

                sekecil   ini   susah   sekali   dia   peroleh.   Harus   melewati   latihan   sepanjang   tahun.
                Andai  saja  Ibu  dan  Ayah  ada  di  sini,  mereka  pasti  bangga  me lihat  Lail,  peserta

                paling muda yang lulus pelatihan dasar re lawan.

                  ”Apakah aku boleh melihat pin itu?”

                  Seseorang menyapanya, dengan suara yang amat dikenalnya.
                  Lail menoleh. Sedetik dia bahkan hampir susah bernapas. Kemudian berseru.

                  ” Esok!”
                  Mengenakan  jaket  kampusnya,  dengan  topi  biru  hadiah  Lail  dulu,  bertuliskan

                ”ñe  Smart  One”,  Esok  sudah  jauh  lebih  tinggi  dari  yang  dibayangkan  Lail.  Di

                sebelah Esok terparkir sepeda merah yang semakin pudar warnanya.

                  Mereka berdua tertawa.
                  ”Apa  yang  kamu  lakukan  di  sini?”  Lail  mengusap  wajah,  me mastikan  dia  tidak

                sedang bermimpi.
   100   101   102   103   104   105   106   107   108   109   110