Page 104 - hujan
P. 104
Relawan yang ada di ruang komando tertawa.
***
Malam itu, Lail baru tertidur setelah lewat pukul satu.
Menonton percakapan di televisi membuatnya memikirkan banyak hal.
Kenangan atas ibu dan ayahnya. Kejadian di lu bang tangga darurat kereta bawah
tanah. Mengingat Esok. Apa kabar Esok? Sudah lama mereka tidak bertemu,
sejak Esok berangkat ke Ibu Kota. Ini sudah libur panjang, mungkin Esok
sedang tenggelam dalam proyek penelitian, tidak bisa pulang ke kota mereka.
Berjam-jam bekerja di depan komputer, mendesain teknologi mesin terbaik.
Berhari-hari bekerja di laboratorium, berusaha menemukan inovasi besar. Lail
tersenyum, teringat tiga tahun lalu saat Esok memberikan solusi bagaimana
menyedot air dari kedalaman dua ratus meter.
” Bangun, Lail. Kita tidak boleh terlambat di acara pelantikan relawan.”
Maryam menepuk-nepuk pipi sahabatnya.
” Pukul berapa sekarang?” Lail menguap.
” Delapan kurang lima menit.”
”Aduh, kenapa kamu tidak membangunkanku sejak tadi?” Lail bergegas
melempar selimut.
”Aku sudah membangunkanmu sejak pukul enam. Kamu tidur seperti batu.”
Maryam mengangkat bahu. Dia sudah ter lihat rapi dengan seragam relawan
berwarna oranye.
Lail menyambar handuk dan peralatan mandi.
” Tidak akan sempat, Lail. Kita harus bergegas ke lapangan.”
Lail melirik jam digital. Maryam benar, tidak akan sempat. Baiklah, dia
meletakkan handuk, mengambil seragam relawannya. Mereka relawan bencana,
di lokasi bencana tidak mandi sudah makanan sehari-hari.
Maryam tertawa, seakan mengerti apa yang dipikirkan Lail. ” Tapi tidak begitu
juga, Lail. Kamu tidak mandi karena kesiang an, bukan karena situasi darurat.
Sikat gigi dan cuci muka masih sempat kok. Kutunggu.”
Lail mendengus, menyuruh teman sekamarnya segera tutup mulut.