Page 108 - hujan
P. 108
sepuluh tahun ke depan. Prioritas pemerintahan kota bukan untuk hal itu,
masih banyak infrastruktur yang lebih mendesak dibiayai.
Lima belas menit lengang. Esok dan Lail diam menatap taman. Sepeda merah
terparkir rapi di sebelah. Tiga tahun telah berlalu sejak mereka menaiki lubang
tangga darurat dalam suasana panik dan takut. Inilah makam ibu Lail dan empat
kakak laki-laki Esok. Tubuh mereka memang sudah dipindahkan ke
pemakaman umum, tapi di sana ada ratusan ribu nisan. Satu lubang untuk
ribuan orang. Tidak bisa diketahui persis di mana jasad ibu Lail dan empat
kakak Esok dimakamkan.
Esok kembali mengayuh sepedanya.
Kejutan. Toko kue itu telah berdiri kembali.
”Sejak kapan?” Lail bertanya.
”Sebulan lalu.” Esok meletakkan sepeda di tempat parkirnya.
Suara lonceng kecil terdengar lembut saat pintu toko di dorong.
R ak-rak di dalam toko dipenuhi kue-kue yang menggoda selera. Aroma lezat
menyergap hidung.
” Hai, Bu,” Esok menyapa ibunya yang sedang membuat kue di belakang.
Ibunya menekan tombol, kursi roda yang didudukinya ber gerak maju.
”Ada Lail, Bu.”
”Oh ya?” Ibu Esok mendekat. ” Halo, Lail.”
”Selamat siang, Bu.” Lail menyalami ibu Esok.
” Kamu sudah besar sekali, Nak.” Ibu Esok tersenyum, me natap Lail dari
kepala hingga kaki, mengernyit melihat seragam nya. ” Kamu sekarang relawan,
Lail? Anggota organisasi?”
” Iya, Bu. Anggota paling muda. Dia baru saja dilantik,” Esok yang menjawab.
” Itu bagus sekali. Kamu pasti sudah bekerja keras untuk lulus.”
Lail tersipu malu. Dia juga memperhatikan ibu Esok yang duduk di kursi roda
generasi terkini—dengan Jtur serba oto matis, Keksibel, bisa bergerak ke arah
mana pun. R ambutnya sudah memutih, badannya masih kurus seperti dulu, tapi
wajah nya ter lihat bahagia. Mungkin toko kue ini membuat semangat hidupnya