Page 123 - hujan
P. 123
Peralatan medis terbatas. Obat-obatan hanya datang setiap kali ada tim relawan
yang tiba. Kondisi rumah sakit mengenaskan. Mereka harus mengurus banyak
pasien, terutama anak-anak dan orang tua.
Pukul delapan malam Lail dan Maryam baru kembali ke tenda mereka.
Mereka tidak sempat mandi, langsung merebah kan diri di atas kasur tipis, segera
jatuh tertidur. Itu siklus yang sama seperti penugasan sebelumnya, setiap hari,
yang baru ber akhir saat masa penugasan mereka berakhir. Kurang tidur, tidak
mandi berhari-hari, kelelahan, adalah tantangan bagi relawan.
Tetapi situasi berubah serius saat hari ketiga. Sejak pagi hujan turun
membungkus kota. Suhu menyentuh lima derajat Celsius. Hujan semakin deras
menjelang petang dan berubah menjadi badai ketika malam datang. Angin
kencang membuat tenda bergoyang.
Saat relawan sedang berkumpul di tenda komando, melaku kan brie;ng
kemajuan penugasan mereka, tiba-tiba terdengar suara ber gemuruh dari atas. Itu
dari bendungan irigasi. Ko mandan tenda pengungsian segera mengirim dua
relawan pergi ke bendung an besar untuk memeriksa, salah satunya memiliki
penge tahuan konstruksi sipil. Dua relawan kembali satu jam kemudian,
membawa kabar buruk. Bendungan itu retak, ada sisi yang runtuh di
dindingnya. Hanya soal waktu bendungan itu jebol.
Tenda komando senyap. Ketegangan menyeruak.
” Berapa jam bendungan itu bisa bertahan?”
” Paling lama sepuluh jam,” kata relawan yang memeriksa, mengon Jrmasi.
” Kita harus melakukan evakuasi penduduk. Mereka harus pindah ke dataran
tinggi. Jika bendungan itu jebol, seluruh kota akan disapu air bah,” ujar salah
satu relawan senior, memberikan pendapat.
Komandan tenda pengungsian mengangguk. Sepuluh jam waktu yang cukup
untuk melakukan evakuasi. Tapi itu bukan masalah besarnya, melainkan
bagaimana dengan kota di hilir sungai, jaraknya lima puluh kilometer. Tidak ada
kendaraan yang bisa pergi ke sana, jalan telah berubah menjadi kubangan lum-
pur. Jangankan truk, motor lintas alam pun kesulitan melaju. Jaringan