Page 125 - hujan
P. 125
peralatan terbaik yang dimiliki tenda pengungsian. Sepatu terbaik, pakaian
terbaik. Segera!”
Maryam mengepalkan tinjunya. Yes! Idenya disetujui.
”Aku mungkin akan menyesal telah mengizi nkan kalian me lakukannya.”
Komandan melepas Lail dan Maryam lima belas menit kemudian. ” Tapi aku
akan lebih menyesal jika penduduk kota di hilir sungai disapu air bah tanpa
peringatan. Larilah! Larilah secepat mungkin yang kalian bisa. Buat seluruh
Organi sasi Relawan bangga atas tindakan kalian!”
Persis kalimat itu tiba di ujungnya, Lail dan Maryam sudah ber lari secepat
mereka bisa, meninggalkan tenda komando. Di lepas teriakan-teriakan semangat
dari relawan lain di belakang.
***
Lima puluh kilometer, malam hari, hujan badai, suhu lima derajat Celsius. Itu
kombinasi yang menyulitkan.
Dua teman baik itu bahu-membahu melintasi jalanan ber lumpur. Naik-turun.
Berkelok-kelok. Sesekali petir menyambar membuat terang, memberitahu
bahwa mereka berada di tengah hutan lebat.
”Seharusnya kamu tidak mengeluarkan ide gila ini, Maryam,” Lail berlari di
sebelah Maryam, berseru, berusaha mengalahkan suara hujan.
Maryam tertawa, menyeka wajahnya yang basah. R ambut kri bonya
berantakan.
” Bagaimana kalau ada hewan buas di tengah jalan?”
Mayam menggeleng. ” Tidak ada hewan buas. Mereka memilih meringkuk di
sarangnya. Hanya kita yang nekat melewati badai. Kita hewan buasnya, Lail.”
Melintasi lima puluh kilometer dengan suhu serendah itu juga mengundang
hipotermia. Beruntung pakaian yang mereka kena kan memiliki lapisan memadai
untuk mencegah tubuh ke hilang an suhu lebih cepat. Tapi sisanya, tetap tidak
mudah.
Berkali-kali mereka terpeleset di medan terjal dan sulit, ter jatuh. Jika Lail yang
jatuh, Maryam yang mengulurkan tangan, me nyemangati. Jika Maryam yang