Page 124 - hujan
P. 124
komunikasi juga terputus total sejak badai turun. Telepon satelit tidak berfungsi
dan butuh dua belas jam untuk pulih setiap hujan badai. Mereka juga tidak bisa
mengirim pe rahu melintasi sungai besar yang sedang bergelora.
” Kita harus segara memperingatkan kota di hilir sungai, Komandan. Jika
bendungan itu jebol, hanya butuh waktu dua jam, air bah tiba di sana.”
Tapi bagaimana melakukannya? Komandan tenda pengungsian menatap
seluruh tenda. Hening, menyisakan suara hujan deras, guntur dan petir
bersahut-sahutan.
” Kami yang akan ke sana, memberikan peringatan,” Maryam berkata mantap.
Semua orang menatap Maryam.
” Bagaimana kamu akan tiba di sana?” Komandan bertanya.
” Berlari secepat mungkin,” kali ini Lail yang menjawab.
Tenda lengang.
”Aku tahu, kalian berdua adalah pemegang rekor tercepat tes rintang alam.”
Komandan tenda pengungsian menatap Maryam dan Lail bergantian. ” Tapi
berlari lima puluh kilometer, di tengah hujan badai, di lembah terisolasi adalah
gila! Aku tidak akan mengotorisasi tindakan nekat seperti itu.”
” Iya. Itu memang gila!” Maryam menjawab gagah. ” Hanya cara gila itu yang
tersisa sekarang. Atau kita akan membiarkan ribuan penduduk kota di hilir
sungai disapu air bah bahkan sebelum mereka sempat menyadari apa yang telah
menghantam me reka.”
Komandan tenda pengungsian mengusap wajah. Situasi ini pelik.
”Aku tidak akan mengirim kalian mempertaruhkan nyawa di luar sana.”
Beberapa relawan senior terlihat berdiskusi, berbisik-bisik.
” Biarkan mereka mencobanya. Hanya itu satu-satunya ha rapan,” salah satu dari
mereka memberikan pendapat kepada Komandan, yang lain mengangguk setuju.
Waktu mereka semakin sempit. Selain memutuskan bagai mana mengirim
peringatan ke kota di hilir sungai secepatnya, mereka juga harus segera memulai
mengevakuasi penduduk kota di hulu sungai.
Komandan terlihat menghela napas berat. ” Baik. Berikan Lail dan Maryam