Page 126 - hujan
P. 126
terpeleset, Lail yang akan mem bantunya berdiri. Mereka berdua kompak. Terus
maju.
”Ayo, Lail. Kita tidak sedang simulasi. Nasib ribuan orang me nunggu kita.”
Maryam menghibur Lail yang mulai tertinggal se telah dua pertiga perjalanan.
Fisik Lail tidak setangguh Maryam.
Lail di belakang mengangguk, membujuk kakinya terus ber lari.
Delapan jam yang terasa sangat lama. Persis ketika daya tahan tubuh mereka
hampir habis, saat malam telah berganti siang, Lail dan Maryam tiba di kota
hilir sungai.
Lail ambruk di depan tenda komando, kelelahan. Maryam me meganginya agar
tetap berdiri. Juga relawan lain yang me ngenali mereka segera membantu.
”Ada apa, Lail? Maryam? Kenapa kalian kemari?”
” Evakuasi penduduk kota,” Maryam berkata serak. Tubuhnya yang kotor oleh
lumpur juga lelah. Dia akhirnya jatuh terduduk.
” Bendungan di hulu sungai retak. Segera beritahu yang lain.”
Persis saat Maryam menyampaikan berita itu, bendungan di hulu jebol. Jutaan
kubik air meluncur deras, menyapu apa pun yang dilewatinya. Air bah itu butuh
dua jam untuk tiba di hilir. Lebih dari cukup bagi relawan mengevakuasi pen-
duduk ke tempat yang lebih tinggi. Persis ketika ribuan pen duduk tiba di lereng
bukit, air bah itu sampai. Mereka me nyaksi kan seluruh kota disapu air,
termasuk tenda-tenda di lo kasi peng ungsi an.
Lail dan Maryam yang ditandu pergi ke lereng bukit saling tatap. Tertawa.
Mereka telah berhasil memperingatkan kota di hilir sungai tepat waktu.
Terlambat lima belas menit, tidak terbayangkan akibatnya.
Beberapa minggu kemudian, ribuan penduduk yang selamat dipindahkan ke
kota lain. Itu pekerjaan besar, melibatkan banyak pasukan marinir. Truk-truk
membawa seluruh penduduk. Dua kota itu secara resmi ditutup dari aktivitas
apa pun, menjadi kota mati seperti ratusan yang lain.
Dua hari setelah kejadian itu, Lail dan Maryam kembali ke kota mereka.
Melupakannya. Tetapi cerita heroik saat mereka berlarian sepanjang malam