Page 18 - hujan
P. 18
respek.... Umat manusia sejatinya sama seperti virus. Mereka berkembang biak
cepat menyedot sumber daya hingga habis, kemudian tidak ada lagi yang tersisa.
Mereka rakus sekali. Maka seperti virus, hanya obat paling keras yang bisa
meng hentikannya. Saya tidak bicara soal perang, atau epidemi penyakit, itu
tidak pernah berhasil menghentikan umat manusia. Puluhan perang berlalu,
belasan wabah penyakit mematikan muncul, umat manusia justru tumbuh
berlipat ganda. Saya bi cara tentang obat paling keras.”
” Percakapan kita mulai terasa horor, Prof,” pembawa acara memotong.
” Yeah, kamu yang meminta saya menjawab pertanyaan itu.”
Layar televisi di kapsul kereta terus menyiarkan percakapan. Lail masih
menatapnya, tatapan kosong. Isi gelasnya tinggal se paruh. Pertama, Lail tidak
mengerti isi percakapan, usianya baru tiga belas tahun. Kedua, kepalanya
dipenuhi kecemasan hari pertama sekolah. Apakah dia akan bertemu teman-
teman dari kelas sebelumnya? Atau berganti lagi? Apakah guru-guru baru nya
baik?
Gerimis. Lail lebih tertarik memikirkan gerimis di jalanan tadi. Jika
diperbolehkan, dia ingin bermain di sana saja pagi ini, berlari sambil
merentangkan kedua tangan di perempatan jalan, men dongak, membiarkan
wajah dan rambutnya basah oleh butir air lembut. Lail selalu suka bermain
hujan. Tapi ibunya pasti tidak sependapat, sekolah lebih penting.
Di kursi sebelah, ibunya sedang sibuk menelepon rekan kerja nya, bilang dia
akan terlambat di kantor, harus mengantar putri nya sekolah lebih dahulu.
” Lantas apa maksud Anda dengan obat paling keras itu? Ben cana alam?”
” Tepat! Dalam skala yang sangat mematikan,” narasumber men jawab dengan
wajah serius.
” Tapi omong-omong, bukankah virus tidak ada obatnya?” Pem bawa acara
mencoba bergurau, seolah teringat sesuatu, ter tawa.
”Yeah....” Narasumber ikut tertawa.
Kapsul kereta terus melesat di dalam lorong gelap, menuju sta siun berikutnya.
Penumpang juga terus asyik dengan kesibuk an masing-masing. Tidak ada yang