Page 22 - hujan
P. 22
bergemuruh mengeri kan, me nyelimuti sekitarnya.
Kota tempat Lail tinggal sebenarnya berjarak 3.200 kilometer dari lokasi
gunung. Untuk ukuran gunung meletus skala kecil atau sedang, itu jarak yang
aman sekali. Tapi itu letus an super volcano, gunung purba yang terlupakan.
Petaka besar itu tiba dalam hitungan detik. Bukan abu panasnya yang mem-
bunuh, melainkan gempa vulkanik 10 skala Richter. Gedung-gedung runtuh,
jalan layang berguguran, tanah merekah, rumah-rumah bagai dibelah, sepertiga
permukaan bumi merasakan gempa dengan skala paling mematikan.
” Lail, Lail!” Ibunya berhasil menemukan putrinya.
Lail bergegas memeluk ibunya.
Teriakan panik terus terdengar di dalam kapsul kereta.
” Kamu tidak apa-apa?” ibunya bertanya.
Lail terbatuk, menyeka wajahnya yang kotor. Dinding kapsul pecah, guguran
debu dan tanah memenuhi sekitar. Lail baik-baik saja—kecuali betisnya yang
terkena injakan sepatu penumpang lain, terasa sakit, serta lengannya yang
terkena siraman cokelat panas.
Beberapa penumpang menyalakan layar telepon genggam, mem buat
penerangan sementara.
”Apa yang terjadi?” salah satu penumpang bertanya.
”Gempa bumi,” yang lain menjawab—tebakan yang tepat.
Ibu Lail bergegas menghubungi suaminya melalui teknologi layar di lengan.
Percuma. Tidak ada koneksi nirkabel. Secanggih apa pun layar di lengannya,
tanpa koneksi, hanya peranti tak berguna. Jaringan komunikasi dunia padam
total.
”Apa yang harus kita lakukan?” penumpang bertanya cemas.
” Tidak usah cemas. Sebentar lagi sistem kereta akan menyala.” Seseorang
berusaha memberikan kabar baik.
” Tidak. Sistem kereta tidak akan menyala.” Seorang penum pang menggeleng,
suaranya serak.
Dan itu benar. Sesuai prosedur otomatis, saat gempa itu per tama kali