Page 25 - hujan
P. 25
Tidak mendengarkan, belasan penumpang tetap lari kembali ke kapsul, hanya
untuk menerima kenyataan, saat mereka tiba di kapsul kereta yang tergeletak,
atap lorong di atas kepala mereka runtuh, menimbun seluruh kapsul. Tidak
berhenti di situ, runtuhan itu menjalar cepat menuju kerumunan penumpang
yang tersisa.
” Lari!” petugas berteriak parau.
Tanpa disuruh dua kali, puluhan penumpang berlari. Langkah kaki Lail
tersuruk-suruk. Ibunya menarik lengannya, terasa sakit.
”Cepat, Lail! Cepat!” ibunya berteriak.
Runtuhan atap mengenai bagian belakang kerumunan pe numpang yang
berlarian, belasan tertimbun hidup-hidup. Teriakan mereka hilang ditelan tanah
dan bebatuan. Cahaya lampu darurat di belakang yang dipegang oleh petugas
juga padam. Kengerian menguar di dalam lorong.
” Lebih cepat, Lail!”
Lail mengangguk. Wajahnya pucat. Dadanya berdegup kencang. Dia memaksa
kakinya berlari lebih cepat, sudah tidak peduli rambut panjangnya acak-acakan.
Wajahnya penuh debu. Saat memutar arah tadi, posisi Lail dan ibunya paling
depan—walau sekarang telah tersusul beberapa penumpang.
Empat puluh detik yang terasa lama sekali, atap lorong akhir nya berhenti
runtuh mengejar penumpang. Lantai lorong kereta kembali solid, tidak
bergoyang. Gempa susulan sepertinya telah berhenti, menyisakan pemandangan
mengenaskan. Nyaris dua pertiga penumpang tertimbun di belakang—termasuk
salah satu petugas kereta. Hanya belasan penumpang yang selamat.
” Kalian baik-baik saja?” petugas yang tersisa bertanya, napas nya menderu.
Tidak ada yang menjawab pertanyaan itu. Penumpang masih tersengal, satu-
dua terbatuk.
Lail menyeka wajahnya yang berdebu. Baru setengah jam lalu ibunya cemas
tentang terlambat ke sekolah, sekarang mereka justru terjebak di dalam lorong
gelap. Jika berhasil keluar, dia benar-benar akan terlambat tiba di sekolah.
Dipimpin petugas terakhir, rombongan penumpang yang ter sisa melanjutkan