Page 28 - hujan
P. 28
satunya ikut terlepas.
Sebelum Lail benar-benar ikut jatuh, satu tangan meraih tas punggungnya dari
atas lebih dulu. Anak laki-laki usia lima belas tahun yang tiba duluan berhasil
menyambarnya.
” Naik!” anak laki-laki itu berteriak.
” Lepaskan aku!” Lail balas berseru.
” Naik! Semua lantai akan jatuh.” Anak laki-laki itu memaksa, menarik paksa
tubuh Lail keluar, dan berhasil.
Lail meronta. Dia hendak menolong ibunya. Anak laki-laki itu lebih dulu
cekatan menyeret tubuh Lail, menariknya lari me lintasi lantai ruangan,
menendang pintu, persis sebelum lantai ruangan itu ikut runtuh. Mereka
berhasil lompat menyelamatkan diri.
Lail dan anak laki-laki itu terjerembap di trotoar. Bangunan tangga darurat di
belakangnya lenyap, ambruk ke bawah.
Mereka sekarang berada di permukaan, muncul di persimpang an jalan.
Hujan gerimis membungkus kota. Lail tersengal, duduk di atas trotoar.
Wajahnya pucat. Dia baru saja melewati kengerian yang tidak pernah bisa dia
bayangkan sebelumnya. ” Ibu...,” Lail men desis. ” Ibu....” Tapi saat Lail berdiri
tegak, menyeka wajah yang kotor dan basah oleh air hujan, melihat sekitar,
menatap kota, kengerian yang lebih besar terhampar di depan mereka.
Kota indah mereka telah hancur oleh gempa bumi berkekuatan 10 skala
Richter. Sedikit sekali dalam catatan sejarah, ada gempa sekuat itu, yang
tenaganya mampu menghancurkan benua. Gedung-gedung ber tumbangan, jalan
layang rebah, penduduk kota ber teriak-teriak, berlarian menyelamatkan diri.
Suara sirene ter dengar me mekakkan telinga. Kepul asap—sepertinya telah ter-
jadi ke bakar an menyusul gempa barusan—terlihat di mana-mana. Nya ris 90
persen bangunan hancur lebur.
Tapi kota mereka masih beruntung, kota mereka jauh dari garis pantai, karena
beberapa jam kemudian, tsunami setinggi empat puluh meter menyapu separuh
bumi. Kota-kota di pesisir pantai luluh lantak seperti istana pasir diterpa