Page 27 - hujan
P. 27
lama tidak digunakan.
Tinggal beberapa meter lagi, permukaan sudah terlihat. Anak laki-laki
sebelumnya sudah tiba di atas. Dia bisa bergerak lebih cepat dibanding Lail.
Anak laki-laki itu melongok ke bawah, menunggu.
Saat Lail menghela napas lega, merasa mereka bisa selamat, saat itulah gempa
susulan berikutnya tiba.
Anak tangga yang dipegang Lail bergetar, seperti sedang me naiki wahana
fantasi. Penumpang yang berada di bawah, yang masih menaiki anak tangga
darurat, berteriak panik, mendesak ke atas.
Gerakan Lail justru terhenti. Dia menoleh ke bawah.
” Jangan berhenti, Lail!” ibunya berteriak dari bawah. ” Tinggal sedikit lagi.
Terus naik.”
Lail mengangguk, menggigit bibir, segera mempercepat gerak an nya.
Terdengar suara rekahan dinding, begitu mengerikan. Bagian bawah tangga
darurat mulai runtuh, seperti remah roti yang terlepas, dan terus menjalar ke
atas. Penumpang yang berada paling ba wah mulai berjatuhan, bersama bebatuan
dan tanah, terempas.
”Cepat, Lail!” ibunya berseru panik.
Lail sudah sejak tadi berusaha tiba di atas sana secepat mung kin. Tinggal
setengah meter lagi, dia sudah dekat sekali dengan permukaan. Tapi gerakan
tanah runtuh tiba lebih cepat. Anak tangga yang dipegang dan diinjak ibunya
luruh, juga yang diinjak kaki Lail. Tubuh Lail menggantung dengan dua tangan
ber pegangan erat di anak tangga terakhir.
” Ibu!” Lail berteriak, menatap ngeri ke bawah.
” Jangan berhenti, Lail!” Ibunya yang telah kehilangan pegang an anak tangga
berteriak untuk terakhir kalinya, balas men dongak menatap Lail. Tubuh ibunya
telah jatuh bersama gugur an tanah, terseret ke dalam lorong kereta yang ambruk
empat puluh meter ke bawah sana. Gelap.
” Ibuuu!” Lail justru melepaskan salah satu tangannya dari anak tangga. Dia
kalap hendak meraih ibunya, kehilangan kese imbangan, membuat pegangan