Page 82 - hujan
P. 82

membawa      sepeda,   me reka   janjian   bertemu   di   sana.   Esok   sekalian   menemani

                keluarga  orangtua  angkatnya  yang  menghadiri  acara  jamuan  makan  siang  tidak

                jauh di dekat kolam. Lail naik bus kota.
                  ” Itu keren!” Lail bersorak mendengarnya.

                  Tapi wajah Esok terlihat datar.

                  ”Aku akan tinggal di Ibu Kota, Lail. Tinggal di sana.”
                  Lail terdiam, meletakkan kotak popcorn.

                  ”Apakah kamu baik-baik saja?” Esok bertanya setelah satu menit terdiam.

                  Lail   mengangguk,    matanya    menatap    ke   depan,   lamat-lamat   mem perhatikan
                jalanan  yang  macet.  Tadi  dia  juga  datang  ter lambat  ke  kolam  karena  macet.  Bus

                kota  rute  7  tersendat  tiba  di  halte  air  mancur.  Wali  Kota  sedang  mengadakan

                jamuan  ma kan  peringatan  dua  tahun  bencana  besar  gempa  bumi.  Ada  ba nyak
                tamu undangan datang, termasuk mungkin orangtua angkat Esok.

                  ”Aku  sebenarnya  lebih  suka  tinggal  di  kota  ini,  Lail.  Agar  dekat  dengan  Ibu,

                juga   denganmu.     Tapi   kuliah   di   Ibu   Kota   adalah   ke sempatan   emas.   Mereka
                hanya  memberikan  sepuluh  kursi  tahun  ini,  lima  di  antaranya  murid  dari  luar

                negeri. Itu kesempatan langka, tidak akan datang dua kali.”

                  Kolam air mancur ramai oleh pengunjung yang berlalu-lalang.
                  ” Berapa lama kamu akan kuliah di sana?” Lail bertanya.

                  ” Tiga tahun.”

                  Tiga tahun? Itu tidak sebentar. Seperti ada beban berat me nimpa dada Lail.

                  ” Mungkin  aku  bisa  pulang  setiap  libur  panjang.  Tapi  pasti  akan  banyak  proyek
                penelitian.   Profesor    universitas   bahkan    su dah   meminta     kami   menyiapkan

                proyek    pertama   bersamaan     surat   pem beritahuan    yang   kami   terima.   Mereka
                tidak mau menunggu.”

                  Lail tersenyum. ” Kita mungkin tetap bisa bercakap-cakap lewat telepon.”

                  ” Iya, kita bisa melakukannya,” Esok berkata pelan.

                  Lail  mendongak,  menatap  gedung  bertingkat  yang  sedang  di bangun  di  dekat
                kolam  air  mancur.  Dia  sebenarnya  mendongak  untuk  mencegah  Esok  melihat

                matanya  berkaca-kaca.  Mereka  memang  bisa  berkomunikasi  lewat  telepon,  tapi
   77   78   79   80   81   82   83   84   85   86   87