Page 84 - hujan
P. 84
Lail menggeleng patah-patah. Tidak masalah.
Esok menatap Lail beberapa detik, mengangguk, berpamitan. Lantas berjalan
di belakang orangtua angkatnya. Sebuah mobil dengan pelat khusus wali kota
mendekat. Esok naik ke dalam mobil itu. Jendela kaca mobil diturunkan, istri
Wali Kota me lambaikan tangan hangat ke arah Lail saat mobil itu me ninggal kan
kolam air mancur.
Lail terdiam mematung.
***
2
Ruang putih 4 x 4 m dengan lantai pualam lengang.
”Astaga,” Elijah berseru perlahan. ”Anak laki-laki itu diadopsi Wali Kota?”
Gadis di sofa hijau mengangguk. ”Aku juga tidak men duga nya.”
Elijah menghela napas. Cerita ini membuatnya penasaran.
Sebagai paramedis senior, dia telah menangani ratusan pasien. Dia sudah
mendengarkan banyak cerita sebelum melakukan operasi dengan teknologi
paling canggih dalam sejarah medis. Cerita-cerita itu digunakan untuk
memetakan saraf otak secara akurat, di luar itu tidak penting baginya. Elijah
hanya fasilitator, perantara agar bando logam di kepala bekerja efektif. Dia tidak
boleh melibatkan emosinya saat mendengar cerita. Tapi yang satu ini berbeda,
membuatnya penasaran.
Elijah menatap layar setipis kertas HVS di hadapannya. Se buah benang
berwarna merah muncul dalam peta saraf. Terang sekali. Merah. Itu warna
memori yang tidak menyenangkan.
” Kamu tidak suka dengan wali kota itu, Lail?” Elijah bertanya.
Lail menunduk menatap lantai.
Bukan wali kotanya. Wali Kota adalah pahlawan. Berkat dia lah masa darurat
bisa dilewati dengan baik, juga bangkit kembali nya kehidupan kota. Semua
karena kerja keras Wali Kota.
Usia Lail saat itu lima belas tahun, remaja tanggung. Saat itu kejadian tersebut
tidak berarti apa pun, hanya kaget. Memori itu menjadi berwarna merah setelah
bertahun-tahun kemudian. Hingga detik ini, dia tidak pernah membenci Wali