Page 89 - hujan
P. 89
menunggu bus kota. Lail mengangguk.
Istri Wali Kota tersenyum senang, memegang lembut tangan Lail. Mereka
bertiga berjalan beriringan keluar dari stasiun ke reta. Mobil listrik dengan
model terbaik terparkir persis di depan lobi stasiun. Mereka naik ke dalamnya.
Istri Wali Kota me nyetir sendiri, tidak ada sopir atau pengawal. Lail disuruh
duduk di depan.
” Ini acara keluarga, Lail. Kecuali acara resmi, kami baru di antar sopir dan
dikawal.” Istri Wali Kota seolah mengerti apa yang dipikirkan Lail.
Lail menatap kemudi mobil yang lebih mirip video game console. Tidak ada setir
di sana.
Istri Wali Kota tertawa. ”Aku sebenarnya tidak menyetir mobil ini, Lail. Hanya
duduk dan bergaya seperti sedang menyetir. Mobil ini bisa melaju sendiri tanpa
sopir. Semua dikendalikan komputer, mulai dari berbelok, berhenti, hingga
memilih jalan tercepat yang tidak macet.”
Mobil listrik mulai meninggalkan stasiun kereta cepat.
”Suamiku sebenarnya hendak ikut mengantar Esok. Ini hari yang sangat
penting bagi Esok, tapi dia masih di luar negeri. Ada pertemuan membahas
perubahan iklim dunia.... Omong-omong, bagaimana sekolahmu, Lail?” Istri
Wali Kota mengambil sembarang topik percakapan.
”Sekolahku membo—eh, sekolahku baik, Bu,” Lail menjawab hati-hati.
Terlepas dari kakunya Lail dalam percakapan, keluarga orang tua angkat Esok
menyenangkan. Sepanjang jalan, istri Wali Kota ramah mengajaknya membahas
banyak hal, sesekali bergurau, juga putri semata wayangnya. Nama remaja itu
Claudia. Hari ini dia mengenakan pakaian kasual, bukan gaun acara formal
seperti pertama kali bertemu Lail. Tapi tetap saja dia terlihat cantik dan anggun.
Lail berkali-kali me rapi kan rambutnya, merasa malu dengan kondisi rambut
panjang nya yang tidak terawat. Apalagi jika membandingkan betapa halus nya
kulit Claudia.
” Pasti menyenangkan punya banyak teman di panti,” Claudia ikut bercakap-
cakap.