Page 88 - hujan
P. 88
galak itu tidak mengizinkan kamu datang.” Esok tertawa.
Istri Wali Kota dan putri semata wayangnya menjauh beberapa langkah,
memberikan jarak privat agar Esok dan Lail leluasa bercakap-cakap.
”Aku punya sesuatu untukmu.” Lail membuka ranselnya.
”Apa?”
Itu sebuah topi, berwarna biru, dengan tulisan dari rajutan, ”ñe Smart One”.
” Terima kasih.” Esok tersenyum, memakai topi itu di kepala nya.
Hanya itu waktu yang mereka miliki. Suara peluit terdengar melengking, tanda
penumpang harus naik ke atas kapsul.
Istri Wali Kota dan putrinya kembali mendekat. Esok menya lami ibu
angkatnya, juga menyalami putri Wali Kota, terakhir me natap Lail.
”Aku berangkat, Lail.” Esok tersenyum.
Lail mengangguk, balas tersenyum.
Esok naik ke atas kapsul. Pintu-pintu menutup otomatis. Tiga puluh detik
kemudian, kereta cepat antarkota itu sudah melesat meninggalkan stasiun.
Kecepatannya hingga empat ratus kilo meter per jam, terbang di atas relnya.
” Kamu mau pulang bersama kami, Lail?” istri Wali Kota ber tanya, memecah
lengang setelah kapsul kereta hilang di kejauhan. Para pengantar lain sudah
beranjak meninggalkan peron.
” Tidak usah. Aku naik bus kota saja.” Lail buru-buru meng geleng.
” Kita satu arah. Kamu hendak pulang ke panti, bukan?” Istri Wali Kota
tersenyum, membujuk.
Lail tetap menolak.
”Ayolah, Lail.” Putri Wali Kota ikut membujuk, berkata ramah, pura-pura
berbisik, ” Jika ibuku sudah bilang, aku saja susah menolaknya.”
Istri Wali Kota tertawa mendengar gurauan putrinya.
Lail serbasalah. Dia tidak pernah bergaul dengan keluarga sangat terhormat
seperti Wali Kota, bagaimana kalau dia terlihat norak? Lail melirik jam digital di
dinding peron, sebentar lagi waktu dua jamnya habis. Mungkin tidak ada
salahnya dia ikut naik mobil istri Wali Kota. Itu lebih cepat dibanding