Page 90 - hujan
P. 90
Lail mengangguk. Mereka sekarang pindah membahas tentang panti.
Gedung panti sosial juga hampir dekat. Lima menit, mobil mulai melambatkan
lajunya. Komputer berhitung jarak terbaik untuk berbelok masuk.
” Kapan-kapan kamu harus main ke rumahku, Lail.” Claudia ikut turun
mengantar Lail.
Lail mengangguk, mengucapkan terima kasih—untuk ketiga kalinya. Claudia
kembali masuk, duduk di sebelah ibunya, lantas mobil listrik itu perlahan
meninggalkan halaman gedung.
Lail mengembuskan napas. Tidak percaya dia baru saja satu mobil dengan istri
Wali Kota dan putrinya. Semoga dia tidak terlihat memalukan selama dua
puluh menit perjalanan.
***
Sejak hari itu, Esok terpisah ribuan kilometer darinya.
Lail bisa saja menggunakan teknologi komunikasi untuk meng hubunginya
seperti yang dia katakan di kolam air mancur, tapi dalam hubungan mereka, itu
sesuatu yang tidak pernah dia lakukan. Lail selalu merasa sungkan menghubungi
Esok, kha watir mengganggu kesibukan Esok.
Awalnya tidak mudah, tapi Lail punya penghiburan terbaik. Kesibukan. Itu
selalu berhasil menaklukkan pikiran-pikiran negatif. Hari-hari di panti sosial
mulai berjalan normal.
”Aku mulai bosan kursus memasak.” Maryam menguap. Me reka sedang
mengikuti aktivitas sore.
Di sekitar mereka, anak-anak panti menghias kue masing-masing.
” Kita harus memilih aktivitas lain, Lail. Yang lebih seru,” Maryam berbisik.
” Kamu hendak bilang memasak itu tidak seru?” Lail di se belah nya sedang asyik
menghias kue, berkomentar seadanya atas keluhan teman sekamarnya.
”Aku tidak bilang begitu.... Tapi maksudku, kita bisa me milih aktivitas lain
yang secara langsung membantu banyak orang. Lebih konkret.”
” Maryam, yang bekerja adalah tangan, bukan mulut,” guru kursus memasak
memotong percakapan, menatap tajam.