Page 83 - hujan
P. 83
itu tidak bisa meng gantikan duduk di depan kolam air mancur, atau bersepeda
menge lilingi kota, bergurau, tertawa. Termasuk kebersamaan paling penting,
berdiri di depan lubang tangga darurat kereta bawah tanah.
” Kamu sudah selesai, Esok?” Suara berat menyapa.
Percakapan menyedihkan ini membuat Lail tidak memper hati kan ada
rombongan mendekat ke bangku taman tempat mereka duduk.
Lail menoleh. Seseorang yang amat penting di kota itu, pahla wan saat masa
darurat, melangkah mendekati bangku, bersama istri dan putrinya. Orang yang
menyapa Esok itu adalah Wali Kota—yang diikuti wartawan, masih sibuk
hendak bertanya. Acara jamuan makan siang sepertinya sudah selesai.
Esok berdiri. ”Sudah, Pa. Kami sudah selesai bicara.”
Lail tidak mengerti. Wajahnya bingung. Esok memanggil Wali Kota dengan
sebutan papa? Apakah Lail tidak salah dengar?
” Perkenalkan, Pa, Ma, ini Lail. Temanku di tenda pengungsi an.”
” Halo, Lail. Akhirnya kita bertemu.” Wali Kota mengulurkan tangan.
Lail berdiri, tangannya gemetar, bersalaman. Aduh, dia sama sekali tidak tahu.
Ayah angkat Esok-lah yang justru menjadi tuan rumah acara di dekat kolam air
mancur. Kenapa Esok tidak pernah bilang siapa orangtua angkatnya? Lail selama
ini meng anggap orangtua angkat Esok ” hanya” keluarga kaya, sama seperti anak-
anak lain yang diadopsi. Mereka tidak pernah membicara kannya, karena topik
itu tidak menyenangkan. Keluarga angkat itu membuat Lail dan Esok terpisah.
Tapi ini?
” Esok bercerita banyak tentangmu, Lail,” istri Wali Kota ikut menyapanya
hangat, menyalami.
Dan terakhir, Lail juga bersalaman dengan putri Wali Kota yang mengenakan
gaun indah. Remaja itu sepantaran dengannya, terlihat sangat cantik. Matanya
biru, hidungnya mancung, lesung pipi yang menawan, seperti putri dalam cerita
dongeng. Dia juga menyapa Lail dengan ramah.
”Ayo, Esok. Kita harus pulang,” Wali Kota mengingatkan. ” Maaf jika
menghentikan pertemuan kalian, Lail. Aku masih punya beberapa acara lain.”