Page 30 - MODUL FIQIH PPG 2021
P. 30
Rosulullah itu ada yang memiliki iman yang kuat dan ada yang lemah. Mereka yang lemah
imannya sangat takut terjerumus ke jurang perzinahan. Sedangkan mereka yang kuat imannya
bersikeras untuk menghilangkan nafsu seksnya dengan cara mengebiri, sebagaimana informasi
Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu mas’ud:
ِ
ِ
ِ
ِ
ِ ِ
نَأ انَ ل ََّ خرو َلاَ نع الله ُ لوسر نَاه ن ف ؟يص ختسن َّ لََأ انْ لق ف ءاسن انعم سيَ لو الله لوسر عم وزغ ن اَّ نك
َ َُ
َ َ
ُْ َ َ ََ
ْ
ُْ َ َ َ ُ َ ُ
ْ َ
ْ َ َ
َ
ْ
ْ َ
َ ََ
َََ َ َ
ْ
ٌ َ
َ
ِ
ِ
ِ
ِ
َ ْ
َْ
ْ َ
)هيلع قفتم( ٍ ْلَأ َ لَا بوَّ ثلبا َأرلما حكن ن
َ
ْ
َ
Artinya: “Kami ikut berperang dengan Rosulullah dan istri-istri kami tidak ada di samping
kami. Kemudian kami bertanya kepada Rosulullah, bolehkah kami mengebiri? Maka
Rosulullah melarang kami untuk mengebiri dan memberikan keringanan kepada kami
untuk menikahi perempuan dengan membayar imbalan untuk waktu yang ditentukan. (HR.
Bukhari Muslim)
Berdasarkan keterangan di atas, maka jelaslah bahwa kebolehan hukum nikah mut’ah
pada zaman Nabi itu memiliki alasan sebagai berikut:
a. Merupakan keringanan hukum (rukhsah) untuk memberikan jalan keluar dari problematika
yang dihadapi oleh dua kelompok orang yang imannya kuat dan imannya lemah.
b. Sebagai langkah perjalanan hukum Islam menuju ditetapkannya kehidupan rumah tangga
yang sempurna untuk mewujudkan semua tujuan pernikahan yaitu melestarikan keturunan,
cinta kasih sayang dan memperluas pergaulan melalui perbesanan.
Terkait dengan hukumnya, dilihat dari prosesnya nampaknya langkah pengharaman nikah
mut’ah yang ditempuh oleh Islam dilakukan secara priodik seperti proses pengharaman
khamar. Rosulullah memperbolehkan nikah mut’ah dalam kondisi tertentu (darurat), kemudian
Rosulullah saw mengharamkan nikah mut’ah sebagai bentuk pernikahan. Sebagaimana Hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya dari Syibrah al-Juhani “bahwasanya
ia berperang bersama Rosulullah saw pada waktu fathu Makkah, maka Rosulullah mengizinkan
mereka untuk melakukan nikah mut’ah. Ia berkata: “Maka kaum tetap melakukan nikah
mut’ah itu sampai Rosulullah mengharamkan nikah mut’ah. Dan dalam redaksi yang lain,
terdapat Hadits yang berbunyi”
ِ
ِ
ِ
ِ ِ
ِ ِ
ِ
ِ ِ
ِ
ناك نمف ةمايق ْ لا ٍ و ي َ لَإ َلَ ٍ رحدق الله َّ نإو ِ اَّ نلا نم ِ عاتمت ِ س ْ لَا مُ كَ ل تنََأ تنك دق ِ نّإ اَّ نلاا هُْ يَأيَ
َ َ َّ َْ
َ
َ َ
ْ
ُ ُْ َْ ِ
ْ
ُ
ْ َ َ َ
َ َ
َ
َْ
َ َ
َْ
ْ
َ
َ
ُ
ِ
ِ
ِ
ِ
ُ ُْ َْ
ًَْ َّ
َ
ْ ُ َ ُ ْ َ ِ َ ُ ٌ َ َّ ْ َْ
ُ
ُ ُ
)ملسم هاور( ائ يش نهومت ي تآاَّمِاوُ ذخْتَ َ لَو هَ ل يبس ِ ْخيْ ل ف ئش نه نم هدنع
َ
Artinya: Wahai manusia, aku pernah membolehkan untuk mu melakukan nikah mut’ah
dengan wanita kemudian Allah mengharamkan nikah mut’ah itu. Oleh karena itu jika masih
terdapat memiliki wanita yang diperoleh dengan cara nikah mut’ah maka hendaknya ia
melepaskannya dan janganlah kamu mengambil sedikitpun dari apa yang telah kamu berikan
kepada mereka (HR Muslim)
13