Page 62 - Sang Pemimpi by Andrea Hirata (z-lib.org)
P. 62

kliningannya,  dan  tak  lupa,  sepeda  itu  pun  mendapat
              kehormatan dipoles ramuan semir merek beliau sendiri tadi.
                  Dan  yang  terakhir,  hanya,  sekali  lagi  hanya,  untuk  acara
              yang  sangat  penting,  beliau  mengeluarkan  busana  terbaiknya:
              baju safari empat saku! Baju ini punya nilai historis bagi keluarga
              kami.  Aku  ingat,  tahun  1972,  setelah  bertahun-tahun  menjadi
              tenaga langkong,  semacam  calon pegawai PN  Timah,  akhirnya
              ayahku  diangkat  menjadi  kuli  tetap.  Bonus  pengangkatan  itu
              adalah kain putih kasar bergaris-garis hitam. Oleh ibuku kain itu
              dijadikan lima potong celana dan baju safari sehingga pada hari
              raya  Idul  Fitri  tahun  1972,  ayahku,  aku,  adik  laki-lakiku,  dan
              kedua abangku memakai baju seragam: safari empat saku! Kami
              silaturahmi keliling kampung seperti rombongan petugas cacar.
                  Saat pembagian rapor, ibuku pun tak kalah repot.
                  Sehari semalam beliau merendam daun pandan dan bunga
              kenanga untuk dipercikkan di baju safari empat saku ayahku itu
              ketika menyetrikanya.
                  Persiapan  ayahku  mengambil  rapor  akan  ditutup  dengan
              berangkat  ke  kawasan  los  pasar  ikan  untuk  mencukur  rambut
              dan  kumis  ubannya.  Di  sana,  sambil  memperlihatkan  amplop
              undangan dari Pak Mustar, wakil kepala sekolah kami itu, beliau
              sedikit  bicara,  seperti  berbisik,  pada  kawan-kawan  dekatnya,
              para pejabat trias politika Masjid Al-Hikmah.
                  “Besok, akan mengambil rapor Arai dan Ikal.... “
                  “Senyum ayahku indah sekali. Karena baginya aku dan Arai
              adalah pahlawan keluarga kami.

                  “Oh ... si Kancil Keriting itu, Pak Cik? “
                  “Taikong  Hamim  selalu  menatap  ayahku  lama-lama  untuk
              mengharapkan  lebih  banyak  kata  meluncur  dari  mulut  beliau.
              Itulah orang pendiam, kata-katanya ditunggu orang. Sebenarnya,
              dengan  memperlihatkan  isi  amplop  itu  ayahku  bisa  membual
              sejadi-jadinya.  Karena  dalam  undangan  tertulis  aku  dan  Arai
              berada  dalam  barisan  bangku  garda  depan.  Siswa  yang  tak
              buruk prestasinya di SMA Negeri Bukan Main. Tapi bagi ayahku,
              tujuh kata itu: besok, akan mengambil rapor Arai dan Ikal, yang

                                          60
              -Sang Pemimpi-                                                                                                                     ADEF
   57   58   59   60   61   62   63   64   65   66   67