Page 63 - Sang Pemimpi by Andrea Hirata (z-lib.org)
P. 63

terdiri atas tiga puluh empat karakter itu, sudah cukup.
                  Pada hari  pembagian  rapor,  ayah ibuku telah  menyiapkan
              segalanya.  Suami  istri  itu  bangun  pukul  tiga  pagi.  Ibuku
              menyalakan  arang  dalam  setrikaan,  mengipas-ngipasinya,  dan
              dengan gesit memercikkan air pandan dan bunga kenanga, yang
              telah direndamnya sehari semalam, di sekujur baju safari empat
              saku keramat itu.
                  Ayahku  kembali  melakukan  pengecekan  pada  sepedanya
              untuk sebuah perjalanan jauh yang sangat penting.
                  Usai  salat  subuh  ayahku  siap  berangkat.  Dengan  setelan
              lengkapnya: ikat pinggang bermotif ular tanah, sepatu kulit buaya
              yang mengilap, dan kaus kaki sepak bola, serta baju safari jahitan
              istrinya  tahun  1972,  yang  sekarang  berbau  harum  seperti  kue
              bugis,  kesan  seorang  buruh  kasar  di  instalasi  pencucian  timah
              menguap dari ayahandaku. Sekarang beliau adalah mantri cacar,
              syahbandar,  atau  paling tidak, tampak laksana juru tulis  kantor
              desa. Ibuku menyampirkan karung timah berisi botol air minum
              dan handuk untuk  menyeka  keringat.  Lalu beliau bersepeda  ke
              Magai, ke SMA Negeri Bukan Main, 30 kilometer jauhnya, untuk
              mengambil rapor anakanaknya.
                  Di bawah rindang dedaunan bungur, di depan aula tempat
              pembagian  rapor,  sejak  pagi  aku  dan  Arai  menunggu  ayahku.
              Aku  membayangkan  beliau,  yang  akan  pensiun  bulan  depan,
              bersepeda pelan-pelan melalui hamparan perdu apit-apit, kebun-
              kebun liar, dan  jejeran panjang pohon angsana  reklamasi  bumi
              Belitong  yang  dihancurleburkan  PN  Timah.  Lalu  beliau
              beristirahat di pinggir jalan.
                  Beliau  pasti  menuntun  sepedanya  waktu  mendaki  Bukit
              Selumar, dan tetap menuntunnya ketika  menuruni undakan  itu
              sebab  terlalu  curam  berbahaya.  Beliau  kembali  melakukan  hal
              yang  sama  saat  melewati  Bukit  Selinsing,  dan  kembali  terseok-
              seok  mengayuh sepeda  melawan  angin melalui  padang  sabana
              belasan kilometer menjelang Magai.
                  Tak  mengapa,  sebab  kesusahan  beliau  akan  kami  obati  di
              sini.  Di  dalam  aula  itu,  Pak  Mustar  mengurutkan  dengan  teliti
              seluruh ranking dari tiga kelas angkatan pertama SMA kami. Dari

                                          61
              -Sang Pemimpi-                                                                                                                     ADEF
   58   59   60   61   62   63   64   65   66   67   68