Page 68 - Sang Pemimpi by Andrea Hirata (z-lib.org)
P. 68

Aku mengintip lagi.
                  Aku malu dan merasa sangat bersalah pada Buya Kiai Haji
              Achmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah.
                  Poster tergelar penuh dan hanya lima puluh meter, tepat di
              depan  pintu  los  kamar  kontrakan  kami,  wanita  berbikini  itu
              melirik penuh godaan sambil menggendong seekor anjing pudel.
              Di sampingnya tertera judul film yang penderita sakit gila nomor
              6  sekalipun—idiot—dapat  langsung  menebak  nasib  para
              pemeran  di  film  itu.  Dan  ada  juga  nama  produsernya  (seperti
              merek  puyer),  dan  nama  sutradaranya  (seperti  nama  pemain
              seruling  sebuah  grup  dangdut).  Dia  pasti  menyamarkan  tabiat
              rendahnya di balik nama seperti nama surau.
                  Jika kami membuka pintu dan jendela los kontrakan, wanita
              itu  langsung  menyerbu  kami  dengan  gelembung-gelembung
              memabukkan: tak terjangkau tapi menjanjikan, singgah sebentar
              tapi  mengajak,  digdaya  tapi  murah.  Sementara  sang  pudel
              tampak  tenteram  sekali  di  haribaan  dua  gelembung  lain  di
              dadanya.  Berminggu-minggu  kami  tersihir  pandangan  mata
              wanita  di  poster  itu.  Sungguh  godaan  yang  tak  tertahankan.
              Setiap  gerakan  kecil  kami  di  los  kontrakan  seakan  diikuti  oleh
              kedua   bola   matanya.    Setiap   pulang   sekolah   kami
              memandanginya.  Tak  berkedip.  Menduga-duga;  apa  ya  yang
              dikerjakannya itu  kalau tidak sedang  bermain film tolol? Anjing
              siapakah  yang  digendongnya?  Apakah  dia  bisa  mengaji?  Lalu
              suatu pagi buta, kelelahan setelah pontangpanting memikul ikan.
              Kami  duduk  bertiga,  nanar  mengamati  inci  demi  inci  lekukan
              maut wanita itu yang tampak semakin membius disirami cahaya
              lampu  neon.  Kami  diam  melamun  dengan  pikiran  masing-
              masing. Pikiran yang semburat menerobos pelosok-pelosok gelap
              tak bermoral. Lalu perlahan-lahan, senyum genit wanita di poster
              itu  merekah.  la  hidup!  Berbicara  lembut  kepada  kami,  lembut
              sekali bak busa-busa sabun.
                  “Haiii  di  sana...  aiiiiih,  siapa  namamu?  Ah,  sudahlah,  tak
              penting,  tapi  tak  tahukah?  Hidup  hanya  sekali  ....  Oh,  lihatlah
              dirimu: muda, perkasa, tampan, tersiasia.... “
                  “Kami melongo.

                                          66
              -Sang Pemimpi-                                                                                                                     ADEF
   63   64   65   66   67   68   69   70   71   72   73