Page 71 - Sang Pemimpi by Andrea Hirata (z-lib.org)
P. 71

itu milik Capo Lam Nyet Pho. Berarti rencana ini juga gagal.
                  Kami frustrasi. Dorongan untuk menyaksikan nasib dua carik
              merah  itu  menggebu  tapi  kami  tak  tahu  cara  masuk  bioskop.
              Kami  benci  menjadi  anak  sekolah  yang  tak  kunjung  dewasa.
              Kami  benci  pada  waktu  yang  seakan  beku  tak  beranjak.  Masa
              remaja terasa selamanya tak habis-habis. Dan setiap malam, dari
              los  kontrakan,  kami  benci  melihat  orang-orang  berkerudung
              mengantre  tiket  tanpa  kami  sadari  bahwa  solusi  brilian
              sesungguhnya  kasat di depan mata  kami.  Hanya Jimbron yang
              selalu kami ragukan kapasitas akalnya yang justru melihat solusi
              itu. Suatu malam, ketika orang-orang berkerudung sedang antre,
              dia menghambur ke dalam los kontrakan, mengagetkan aku dan
              Arai yang sedang tidur.
                  “Agghh ... rrrrrh ... rrhhh ... grrrtt ... eerhhhgg!! Errgghh!! “
                  “Jimbron  mendengus-dengus  keras  serupa  kucing  berahi.
              Mukanya  pucat  tegang  seperti  telah  menelan  biji  durian.
              Gagapnya kumat parah jika ia bersemangat. la menunjuk-nunjuk
              orang-orang bersarung, tangannya memberi isyarat seperti orang
              menudungi  kepala  dengan  sarung.  Dan  kami  segera  paham
              maksudnya. Kami melonjak-lonjak.
                  “Genius!! Genius sekali, Bron!! “
                  “Kami  akan  masuk  bioskop  dengan  menyamar  sebagai
              orang  berkerudung!!  Esoknya  kami  sibuk  mencari  sarung  yang
              paling bau yang berbulan-bulan tak dicuci agar A Kiun dan Pak
              Cik  tak  betah  dekat-dekat  kami.  Hari  besar  itu  pun  tiba.  Lagu
              instrumen  “
                  “Sepatu Kaca Cinderella “
                  “bergema  dari  speaker  TOA,  tanda  film  segera  dimulai.
              Kami  menyelinap  dalam  barisan  panjang  orang  berkerudung
              yang  mengantre  tiket.  Mereka  riuh  rendah  dengan  bahasanya
              sendiri dan kami gemetar, tak sabar memenuhi undangan wanita
              yang  menggendong  anjing  pudel  itu,  ingin  segera  menemuinya
              di dalam bioskop.
                  Betapa sempurna penyamaran kami. Sarung busuk itu kami
              tudungkan  di  atas  kepala  dan  kami  lipat  tepiannya  menutupi
              wajah  sehingga  yang  tampak  hanya  mata  dan  sedikit  lubang

                                          69
              -Sang Pemimpi-                                                                                                                     ADEF
   66   67   68   69   70   71   72   73   74   75   76