Page 74 - Sang Pemimpi by Andrea Hirata (z-lib.org)
P. 74

perempuan menjerit-jerit.
                  “Aauuu.... Lari... lari... awas dia di belakangmu!! “
                  “Setiap sang babu tertangkap, mereka mengumpat,  “
                  “Laki-laki berengsek! Tak tahu malu! “
                  “Tapi para penonton pria malah mendukung sang majikan,
              “
                  “Hei, itu dia! Sembunyi di balik pintu! Aduh, bodohnya! Itu
              dia .... “
                  “Nah, jika nyonya rumah dan anak-anaknya pulang, adegan
              kembali  ke  meja  makan.  Belum  20  menit  film  berlangsung,
              sudah  kulihat  lima  kali  orang  makan.  Film  Indonesia  ternyata
              banyak  sekali  soal  orang  makan.  Lalu  sorenya  nyonya  rumah
              pergi  lagi  untuk  arisan  dan  anak-anaknya  les  piano,  si  gendut
              botak  kembali beraksi. la mengejar-ngejar babunya di garasi, di
              taman, atau di dekat kolam renang. Malamnya, seluruh anggota
              keluarga  pulang  dan  semuanya  makan  lagi!  Begitulah  jalan
              ceritanya berulangulang.
                  Tanpa  kusadari  film  inilah  sesungguhnya  cetak  biru  film
              Indonesia.  Para  produser  film  tak  tertarik  untuk  memproduksi
              film  berbobot  yang  misalnya  merekonstruksi  sejarah.  Karena
              hanya  akan mengurangi margin  dan  sutradara  dalam film yang
              kami tonton ini jelas tak mampu mengarahkan setiap orang agar
              tidak membawakan dialog seperti membaca deklamasi. Namun,
              tak  mengapa  toh  penonton  berduyun-duyun.  Produser  dan
              sutradara telah berkonspirasi mengumpulkan rupiah demi rupiah
              dari penonton yang bodoh atau yang  mereka bodohi.  Sungguh
              beruntung  dapat  kuambil  pelajaran  moral  nomor  delapan  dari
              fenomena ini: jika Anda seorang produser film dan ingin untung
              besar, maka pakailah seorang sutradara yang otaknya bebal.
                  Penonton  bertepuk  tangan  lagi,  gegap  gempita,  ketika
              wanita poster itu muncul kembali membawa sekeranjang cucian.
              Oh,  inilah  puncak  ceritanya  karena  kali  ini  ia  hadir  dengan
              pakaian seperti tampak di poster.
                  Carik kecil merah yang kami rindukan. Kulirik Arai. Keringat
              di  dahinya  mengucur  deras,  hidung  jambu  airnya  kembang-
              kempis,  rahangnya  keras  dan  maju  beberapa  inci  ke  depan,

                                          72
              -Sang Pemimpi-                                                                                                                     ADEF
   69   70   71   72   73   74   75   76   77   78   79