Page 75 - Sang Pemimpi by Andrea Hirata (z-lib.org)
P. 75

matanya  melotot.  Adapun  Jimbron  tubuhnya  kaku,  mulutnya
              menganga,  napasnya  mendengus  pendek-pendek.  Dan  aku
              menutup  mataku  dengan  tangan  waktu  wanita  itu  melenggak-
              lenggok menuju jemuran hanya ditutupi dua carik kecil. Tapi jari-
              jariku  kembali  melawan  tuannya.  Di  sela-sela  jemariku  bola
              mataku  rasanya  ingin  meloncat.  Betapa  menyedihkan  keadaan
              kami  sebenarnya.  Waktu  itu  umur  kami  hampir  delapan  belas
              tahun  dan  tergagap-gagap  melihat  pemandangan  seperti  ini,
              padahal  di  belahan  dunia  lain  anak-anak  SMP  sudah  biasa
              menonton film  “
                  “biru “
                  Wanita  pembantu  itu  bernyanyi-nyanyi  kecil  tapi  kami  tak
              peduli  pada  lagunya.  Mataku,  mata  kami,  hanya  lekat  pada
              carik-carik  merah  di  tubuhnya.  Kurasakan  pahaku,  pinggang,
              serta  perutku  penat  sebab  seluruh  sulur-sulur  urat,  darah,  dan
              otot  yang  ada  di  sana  tertarik  ke  satu  titik  dan  pada  titik  itu
              kurasakan ngilu yang dalam, panas bergelora. Seluruh isi perutku
              seakan  naik  mengumpul  di  ulu  hatiku.  Tampak  jelas  Arai  dan
              Jimbron mengalami hal yang sama. Tujuh belas tahun usia kami,
              pertama  kami berdiri paling  dekat  dengan pengalaman  seksual.
              Maka  di  tempat  duduk  habitat  ruma  ini,  di  bawah  tipu  daya
              sutradara  bejat  ini,  kami  adalah  labu  air  yang  matang  di
              tangkainya.  Kami  adalah  kanon  yang  siap  meledak  dahsyat
              kapan saja.
                  Dan si botak pun itu muncul, mengejar si Carik Merah. Para
              penonton wanita berteriak-teriak histeris menyuruhnya lari,  “
                  “Pergi sana, Dayang, masuk lagi ke dalam rumah!! “
                  “Sebaliknya, penonton pria bersuit-suit nyaring, menyokong
              si Botak habis-habisan,  “
                  “Ayo,  Gendut!!  Tabahkan  hatimu!!  Kejar!!  Buktikan
              kemampuanmu kali ini!! Garap dial! “
                  “Penonton  riuh  dalam  adegan  penuh  ketegangan  waktu  si
              Carik Merah meliuk-liuk di antara jemuran cucian.
                   Pudel menyalaki si Gendut, galak dan panik,  “
                  “Affh ... affh ... affh ... “
                  “dan  kami terpaku  di tengah bioskop menunggu apa yang

                                          73
              -Sang Pemimpi-                                                                                                                     ADEF
   70   71   72   73   74   75   76   77   78   79   80