Page 79 - Sang Pemimpi by Andrea Hirata (z-lib.org)
P. 79

Pak  Cik  Basman  dan  A  Kiun  berdiri  rapat  di  pintu  keluar  bioskop.
              Waktu  kami  digiring,  mereka  memandang  kami  dengan  perasaan
              bersalah.  Mengapa  tak  kalian  hiraukan  peringatan  kami?  Bodoh  sekali.
              Orang-orang baik itu telah terjebak dalam lingkaran maksiat industri film
              nasional  dan  mendapati  kami,  para  siswa,  termanipulasi  di  dalamnya,
              membuat mereka jijik dengan profesinya..
                  Masalah  ini  gawat.  Dari  asisten  juru  rias  pengantin,  biang  gossip
              kampung  kami,  kami  mendengar  bahwa  Pak  Mustar  belakangan
              mengetahui  kelakuan kami di peti es tempo hari. Tapi ia tak mau  ribut-
              ribut karena dalam kejadian itu jelas ia telah kami tipu mentah- mentah.
              Harga  dirinya  terlalu  tinggi  untuk  mengakui  bahwa  ia  telah  terpedaya
              kegeniusan  Arai.  Ia  yang  memburu  kami  justru  menyelematkan  kami.
              Namun,  diam-diam  ia  menyimpan  kekalahannya  di  stanplat  itu,
              meninmbunnya  menjadi  gunung  dendam  yang  berlipat-lipat  kepada
              kami..
                  Malam  Minggu  ini,  tukang  jagung  yang  telah  bertahun-tahun
              bercokol di depan bioskop melihat sarung dengan motif yang beda. Motif
              Melayu  bukan  motif  orang  pulau.  Baunya  pun  lain.  Bau  apek  gudang
              peregasan, bukan seperti bau sarung orang pulau yang bau laut. Ia tahu
              bahwa  tiga  pendatang  haram  telah  menyelundup  ke  dala,    bioskop
              bobrok  itu.  Pak  Mustar  yang  iseng-iseng  mematroli  siswanya  malam  itu
              sedang  bernasib  baik.  Ia  dilapori  tukang  jagung.  Ia  tersenyum  pada
              tukang  jagung,  Dewi  Fortuna  tersenyum  pada  Pak  Mustar,  dan  kami
              dikhianati tukang jagung..
                  Maka  kami  tertangkap  tangan,  tertangkap  basah,  basah  kuyup.
              Positifnya  adalah  bahkan  tukang  jagung  peduli  pada  integritas  kami
              sebagai siswa. Maka kata yang lebih tepat bukanlah tukang jagung yang
              mengkhianati  kami  tapi  kami  yang  mengkhianati  diri  sendiri.  Berita  itu
              dengan  cepat  menyebar  seantero  Magai.  Dalam  waktu  singkat,  los
              kontrakan kami dipenuhi para tamu, handai tolan sesame monyet sirkus
              SMA  Negeri  Bukan  Main.  Mereka  tidak  dating  untuk  menunjukkan
              simpati, tak pula tertarik dengan momen-momen ketika kami tertangkap.
              Mereka, seperti  juga kami, hanya ingin tahu soal  nasib dua carik merah
              itu.  Kami yang telah  berhasil menonton film itu mereka anggap  sebagai


                                          77
              -Sang Pemimpi-                                                                                                                     ADEF
   74   75   76   77   78   79   80   81   82   83   84