Page 69 - Sang Pemimpi by Andrea Hirata (z-lib.org)
P. 69

“Kauhabiskan  waktu  mudamu  hanya  untuk  membanting
              tulang? Aiiiiih... mengapa keras sekali pada dirimu sendiri...??  “
                  “Yuk...  lupakan  sejenak  kesusahan....  Aiihhh,  dua  ratus
              tahun lagi, keadaan akan sama saja ...??  “
                  “Ayo... ayolah, temui aku di dalam. Kutunggu, ya .... “
                  “ Dan anjing pudelnya menyalak manja: afffhh ...
                  afffhh ... afffh ... afffhh ....
                  Arai  menatapku  dan  Jimbron  dengan  kilatan  bola  mata
              yang mengandung niat berkonspirasi.
                  “Saudara-saudaraku tercinta....
                  “Anak-anak  Melayu  bangsa  pujangga,  senasib  sepenang-
              gungan ....
                  “Kita harus menemuinya!! Kita harus nonton film ini!! “
                  “Aku tahu, pada setiap rencana busuk Arai, aku harus selalu
              menjadi orang yang memberi pandangan logis. Aku seyogyanya
              menjadi  wasit moral geng tengik ini.  Dan Jimbron,  ia  akan ikut
              saja apa pun rencana kami. la memang tidak dilahirkan ke muka
              bumi  ini  untuk  banyakbanyak  menggunakan  akal.  Tapi  kali  ini
              aku,  secara  naluriah,  sepakat,  sebab  aku  terlalu  lemah  untuk
              melawan  daya  racun  getah  testosteron,  akar  segala  kejahatan,
              yang secara sporadis menyerang anak-anak Adam yang beranjak
              dewasa.
                  Getah  testosteron  itu  seperti  indra  keenam  yang
              menjebloskan  kami  pada  pengalaman pertama memasuki  suatu
              fase  di  mana  logika  sering  tak  laku:  pubertas.  Itulah  tepatnya
              yang  kami  alami.  Itulah  pandangan  paling  logis  dari  seluruh
              kejadian  ini.  Maka  logika  bahwa  kami  menghadapi  ancaman
              serius Pak Mustar, dan logika bahwa di dalam bioskop itu  kami
              hanya  akan  menonton  kemahatololan  film  Indonesia  yang
              memasrahkan diri pada jajahan selera rendah, juga tak laku.
                  Yang  laku  adalah  kami  ingin,  sangat  ingin  tahu,  apa  yang
              terjadi dengan  dua  carik  kecil  merah yang dikenakan  wanita  di
              poster terpal itu. Itu saja, tak lebih dari itu.
                  Dan  berhari-hari  kemudian  ternyata  perjuangan  kami
              menuju dua carik merah itu sungguh tak mudah.
                  Kami gagal membujuk A Kiun, gadis Hokian penjual tiket.

                                          67
              -Sang Pemimpi-                                                                                                                     ADEF
   64   65   66   67   68   69   70   71   72   73   74