Page 65 - Sang Pemimpi by Andrea Hirata (z-lib.org)
P. 65

aroma daun pandan.
                  Beliau turun dari sepeda,  seperti biasa,  hanya satu ucapan
              pelan  “
                  “Assalamu'alaikum “
                  “,  tak  ada  kata  lain.  Beliau  menepuk-nepuk  pundak  kami
              sambil  memberikan  senyumnya  yang  indah.  Beliau  mengelap
              keringat,  merapikan  rambutnya  dengan  tangan,  dan  berjalan
              tenang  memasuki  aula  dengan  gaya  jalannya  yang  pengkor,
              mencari kursi nomor tiga.
                  Tepuk  tangan  ramai  bersahutan  ketika  nama  ayahku
              dipanggil. Setelah menerima raporku, Pak Mustar mempersilakan
              ayahku  menempati  kursi  nomor  lima  yang  kosong,  dan  tepuk
              tangan  kembali  membahana  waktu namanya  kembali  dipanggil
              untuk  mengambil  rapor  Arai.  Tidaklah  terlalu  buruk,  seorang
              tukang  sekop  di  wasrai  dipanggil  dua  kali  oleh  Kepala  SMA
              Negeri Bukan  Main.  Kulihat senyum  menawan ayahku dan aku
              tahu, saat itu adalah momen terbaik dalam hidupnya.
                  Selesai  menerima  rapor,  ayahku  keluar  dari  aula  dengan
              tenang  dan  dapat  kutangkap  keharuan  sekaligus  kebanggaan
              yang  sangat  besar  dalam  dirinya.  Beliau  menemui  kami,  tapi
              tetap diam. Dan inilah momen yang paling kutunggu. Momen itu
              hanya sekilas, yaitu ketika beliau bergantian  menatap kami dan
              dengan jelas menyiratkan bahwa kami adalah pahlawan baginya.
              Dan  kami  ingin,  ingin  sekali  dengan  penuh  hati,  menjadi
              pahlawan  bagi  beliau.  Lalu  ayahku  tersenyum  bangga,  hanya
              tersenyum,  tak  ada  sepatah  pun  kata.  Senyumnya  itu  seperti
              ucapan  terima  kasih  yang  diucapkan  melalui  senyum.  Beliau
              menepuk-nepuk pundak kami, mengucapkan  “
                  “Assalamu'alaikum”dengan  pelan  sekali,  lalu  beranjak
              pulang.  Mengayuh  sepedanya  lagi,  30  kilometer.  Kupandangi
              punggung  ayahku  sampai  jauh.  Sepedanya  berkelak-kelok  di
              atas  jalan  pasir.  Betapa  aku  mencintai  lakilaki  pendiam  itu.
              Setiap dua minggu aku bertemu dengannya, tapi setiap hari aku
              merindukannya.




                                          63
              -Sang Pemimpi-                                                                                                                     ADEF
   60   61   62   63   64   65   66   67   68   69   70