Page 67 - Sang Pemimpi by Andrea Hirata (z-lib.org)
P. 67

“Film  tak  pakai  otak!  Akting  tak  tahu  malu!!  Tak  ada
              mutunya  sama  sekali.  Lihatlah  posternya  itu!  Aurat diumbar  ke
              mana-mana. Film seperti itu akan merusak jiwamu.
                  “Pakai  waktumu  untuk  belajar!!  Awas!!  Sempat  tertangkap
              tangan kau nonton di situ, rasakan akibatnya!! “
                  “Maka tak ada  siswa  SMA  Negeri Bukan  Main yang berani
              dekat-dekat  bioskop  itu.  Membicarakannya  pun  sungkan.  Tapi
              sore  ini  berbeda.  Aku,  Jimbron,  dan  Arai  baru  pulang  sekolah
              dan sedang  duduk  santai  di beranda los kontrakan  kami  waktu
              melihat  para  petugas  bioskop  mengurai  gulungan  terpal  besar
              berukuran 4x3 meter, sebuah poster film baru. Ujung kiri kanan
              terpal  telah  ditautkan  pada  sudut-sudut  papan.  Agar  baliho
              raksasa  itu  tak  berantakan,  para  petugas  harus  pelanpelan
              membuka  gulungannya.  Mulanya  kami  hanya  melihat  gambar
              dua  potong  betis  yang  putih.  Namun,  pemandangan  semakin
              menarik  sebab  seiring  dengan  semakin  panjangnya  terpal  itu
              diurai  dan  semakin  ke  atas  betis  itu  tampak,  semakin  tak  ada
              tanda-tanda pakaian menutupinya.
                  Kami  bertiga  melotot  waktu  terpal  dibuka  melewati  lutut
              wanita itu. Di atas tempurung lututnya, jantung muda kami, yang
              telah  lepas  pantang  sunat  ini,  berdetak  satu-satu  mengikuti
              lekukan  kaki  mulus  yang  naik  lagi,  naik  lagi,  terus  naik  lagi
              sampai ke area paha dan tetap tak tampak selembar pun benang
              membalutnya.  Kami  terpaku  dengan  mulut  ternganga  waktu
              terpal terbuka sampai ke atas paha. My God, aku mau pingsan!
              Di  sana,  ya,  di  sana,  hanya  ada  carik  kecil  berwarna  merah.
              Bukaan terpal  naik lagi,  dan di dadanya juga hanya dililit  carik
              merah berupa tali-temali. Aku terbelalak.
                  Jimbron  menggenggam  lengan  Arai  kuat-kuat,  lalu
              menggigitnya. Arai sudah tak bisa lagi merasakan sakit.
                  Mati rasa. Mulutnya seperti anjing melihat tulang. Aku cepat-
              cepat menutup mataku dengan kedua tanganku.
                  Tapi  aneh,  jari-jariku  bergeser  sendiri  dengan  tenaga  yang
              tak  dapat  kutandingi,  sungguh,  bergeser  sendiri  tak  terkendali.
              Aku  dipaksa  oleh  diriku  sendiri  untuk  mengintip  dari  sela-sela
              jariku. Kututup kembali jariku, tapi jari-jari itu melawan tuannya.

                                          65
              -Sang Pemimpi-                                                                                                                     ADEF
   62   63   64   65   66   67   68   69   70   71   72