Page 200 - JALUR REMPAH
P. 200

186 | Jalur Rempah dan Dinamika Masyarakat Abad X - XVI


               abad ke 15-16 terjadi gabungan yang padu antara perdagangan dan politik.
               Kesultanan di Nusantara juga aktif dalam sektor perdagangan. Para penuasa
               pesisir beserta kerabatnya ikut berdagang dan mempunyai saham dalam
               ekspedisi-ekspedisi di laut. Seperti diketahui bahwa bagian terbesar dari
               pendapatan negara berasal dari pabean dan aneka ragam pajak perdagangan.
                                                                                         78
               Berdasarkan sumber-sumber sajarah dapat dituturkan beberapa pelabuhan
               diciptakan untuk kebutuhan singgah para pedagang dan bahkan menetap di
               pelabuhan pantai utara Jawa.

                   Sumber-sumber sejarah lokal mengenai pembentukan masyarakat
               pelabuhan dan perdagangan itu sangat langka, sebaliknya banyak tersedia karya
               sastra, yang kabanyakan ditulis dalam bahasa Melayu dan kadangkala bahasa
               Jawa dan Bugis, untuk menghibur atau mendidik komunitas-komunitas niaga
               itu.  Oleh karena aktivitas perdagangan inilah maka  komunitas pelabuhan
                  79
               di pantai utara Jawa mencakup beragam suku bangsa, terdapat orang Jawa,
               Madura, Cina, India, Arab dan pedagang dari Indonesia Timur seperti Ambon,
               Ternate, Tidore dan Banda.

                   Komunitas pelabuhan itu yang menciptakan suasana yang ramai dalam
               bidang perdagangan. Masing-masing kelompok bangsa menggelar hari pasar
               untuk memperdagangkan komoditi dan upaya mencukupi kebutuhan makan
               sehari-hari. Komunitas pelabuhan mempunyai hubungan dengan masyarakat
               yang tinggal di pedalaman yang mempunyai sumber-sumber komoditas
               pertanian yang akan diangkut ke pelabuhan, sebaliknya penduduk yang tinggal
               tepi aliran sungai membutuhkan tekstil, rempah, dan ikan yang merupakan
               produk perdagangan internasional. Oleh karena itu, untuk lebih memudahkan



               akhirnya berantakan. Sebagai akibat dari konflik-konflik antara Negara dengan Paus, Negara berkembang
               menjadi sekuler. Banyak kota niaga tumbuh berkembang di atas fragmentasi politik dan membebaskan
               diri  menjadi  kota  “bebas”  tempat  kaum  “borjuis”  tidak  hanya  memegang  kekayaan  ekonomi  tetapi
               juga kekuasaan politik. Sebaliknya di Cina, sekalipun sering terjadi guncangan, pengertian “kerajaan”
               sama sekali belum hilang kekuatannya. Kekuasaan agama dan kekuasaan politik tetap tak terpisahkan
               dan masih di tangan para “menteri” (mandarin) yang mengelola wilayah agraris dan penuh prasangka
               terhadap kalangan dagang. Untuk hal ini lihat. Denys Lombard. Nusa Jawa: Silang Budaya. Jaringan
               Asia. Jilid II. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008, hlm. 9-10.
                     78  Untuk hal ini lihat. Jan Wisseman Christie. “Javanese Markets and the Asian Sea Trade Boom
               of Tenth to Thirteenth Centuies AD.” Dalam, JESHO No. 41 (3) 1998, hlm. 344-381.
                     79  Berkat analisa teks-teks itu, dapat diperoleh bayangan kembali sebagian mentalitas yang
               telah  berkembang  ditengah-tengah  masyarakat  tersebut.  Lihat,  Ibid.,  Lombard.  Nusa  Jawa:  Silang
               Budaya……Jilid II, hlm. 8.
   195   196   197   198   199   200   201   202   203   204   205