Page 21 - Dalam Bingkai Kesabaran
P. 21

baca. Tangan beliau selalu mengacung-acungkan jari  jika
             menyampaikan hadis yang  berupa peringatan. Ibu
             Mu’tamiroh memberikan ulasan dan penjelasan tentang
             hukuman jika seseorang tidak mengerjakan shalat.
                  Aku  dibuat takut. Sejak itulah aku mulai mengerjakan
             shalat dengan rajin lima kali sehari. Sebelumnya, aku masih
             merasa susah bangun  pagi untuk  shalat subuh. Barangkali
             karena bapak dan ibuku  pada waktu itu bukan pemeluk Islam
             yang sholeh. Orang mengatakan  bapak dan ibuku pemeluk
             Islam abangan. Islam hanya tulisan di KTP. Orang hidup yang
             penting berbuat baik. Tidak merugikan orang lain. Ibadah itu
             urusan individu  dengan Gusti Allah. Mungkin begitulah
             pemikiran orang tuaku.
                 ***
                 Ibu Mu’tamiroh adalah wali kelasku. Hal yang paling
             berkesan dan menjadi kenangan dengan wali kelas adalah di
             saat hari raya idhul adha tiba. Di sekolah kami setiap tahun

             mengadakan pesta  di hari raya itu. Setiap anak
             mengumpulkan iuran  sehingga satu kelas bisa membeli
             seekor kambing. Kami  belajar berqurban. Seekor kambing
             yang disembelih untuk tiap-tiap kelas mendapat satu sampil
             dan sebagian hati. Bagian inilah yang dimasak untuk disantap
             bersama dalam satu kelas.
                 Ibu Mu’tamiroh cekatan membagi kelompok. Jumlah
             murid  di kelas kami kami sekitar  empat puluh lima orang.
             Kelompok  satu bertugas menyiapkan bumbu siap untuk
             memasak daging kambing. Kebetulan ada orang tua teman
             yang pandai memasak daging kambing. Kelompok kedua
             bertugas memasak sate. Kelompok ketiga menyiapkan nasi.



                                              Dalam Bingkai Kesabaran | 15
   16   17   18   19   20   21   22   23   24   25   26