Page 71 - Dalam Bingkai Kesabaran
P. 71
dengan geram. “Catur!” kataku dengan suara yang kuberi
tekanan, “Kamu boleh keluar dari kelas ini dan tidak ikut
pelajaran saya seterusnya. Sana! pindah saja kamu ke
sekolah, menyusul pak guru yang kamu idolakan itu. Kalau
kamu masih ngoceh seperti itu. Kalau kamu merasa lebih
enak diajar pak Pur, besuk kamu tidak usah masuk di kelas
saya.”
Aku tantang begitu, anak itu diam saja. Aku berharap
tidak melihat batang hidung anak itu di hari berikutnya.
Nyatanya anak itu masih masuk. Aku diamkan saja. Aku
tunggu apakah anak itu berceloteh lagi. Bersyukurlah aku,
anak itu sudah berubah. Lisannya tidak berceloteh lagi.
Aku mengajar di kelas dua dan tiga. Selain Catur, ada
anak istimewa lagi di kelas 2B. Anak ini kelihatan selalu jadi
trouble maker di kelas. Kalau tidak menganggu, kerjanya
hanya tidur di kelas. Satu dua kali aku berusaha menegur.
Lama-lama aku jadi bosan. Aku bilang saja ke mereka, ”Arif
sama Catur, dengar! Kamu itu mau diam di kelas saja...nanti
sudah saya beri nilai tujuh. Tapi kamu tidak boleh
mengganggu teman yang lainnya. Ngerti?!”
“Ya bu,” jawab mereka seolah mau mengerti. Alhasil ya
mereka bakalan tidur. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala.
Ketika kedua anak itu tertidur di kelas, satu dua anak
melirik mereka, kemudian melihatku. Mungkin mereka heran,
kenapa aku membiarkannya. Kuberi pengertian kepada yang
lain, “Ibu lebih suka mereka seperti itu, dari pada kalian
terganggu. Sekarang kita bisa belajar dengan tenang. Sudah,
mari kita lanjutkan pelajaran kita hari ini.” Syukurlah anak-
anak yang lain bisa mengerti.
Dalam Bingkai Kesabaran | 65