Page 309 - BUKU KATA FADLI CATATAN KRITIS DARI SENAYAN
P. 309
PANGAN &
PEMBANGUNAN BAB XIV
PERTANIAN
(2)
DI BALIK KISRUH HARGA GARAM
ENAIKAN harga garam hingga kisaran 500 persen yang
mengemuka sejak Juli 2017 lalu, tentu saja ikut menjadi
perhatian saya dan rekan-rekan HKTI (Himpunan Kerukunan
Tani Indonesia). Selain menilai ada keganjilan dalam kenaikan
Kharga yang eksrem itu, kami melihat ada akal-akalan oleh
pemerintah untuk sengaja mengebiri pelaksanaan UU No. 7/2016 yang
mengatur tata niaga garam.
Menurut saya fenomena harga garam ini agak aneh. Untuk
memenuhi kebutuhan garam konsumsi, kita sebenarnya relatif sudah bisa
berswasembada. Apalagi, sejak 2011 kita banyak melakukan ekstensifikasi
ladang garam, dan sejak pemerintahan yang lalu telah ada upaya untuk
membantu peningkatan kualitas garam hasil produksi petani.
Kita memang masih tetap mengimpor garam, tapi impor itu
terutama untuk memenuhi kebutuhan industri. Sebab, dari sekitar 2,4
juta ton kebutuhan garam industri, 90 persennya memang harus diimpor,
karena masih rendahnya kualitas garam produksi dalam negeri.
Pada 2016 lalu petani garam kita memang gagal panen, akibat
tingginya curah hujan dan pola musim yang tak tentu. Itu sebabnya angka
produksi garam secara nasional anjlok hingga 95 persen. Namun mestinya
kenaikan harga tidak seekstrem yang saat ini terjadi, karena pada 2015 kita
pernah memproduksi 2,9 juta ton garam, lebih tinggi dari angka nasional
kebutuhan garam konsumsi yang menurut data Kementerian Kelautan dan
Perikanan (KKP) berkisar di angka 1,6 juta ton per tahun. Jadi, mestinya
kenaikan harga garam di pasaran tak ekstrem sekarang, karena masih ada
surplus dari tahun sebelumnya yang belum diserap pasar.
Anehnya, meski gonjang-ganjing garam terjadinya di pasar garam
konsumsi, pemerintah malah bikin kebijakan di tempat lain, yaitu di
pasar garam industri. Saya baca di media, khusus terkait impor garam
CATATAN-CATATAN KRITIS 321
DARI SENAYAN