Page 477 - BUKU KATA FADLI CATATAN KRITIS DARI SENAYAN
P. 477

Dr. Fadli Zon, M.Sc





                      Masih tetap tingginya angka impor pangan kita tentu saja merupakan
                 sesuatu yang aneh, karena data Kementerian Pertanian biasanya selalu
                 menyebutkan terjadinya peningkatan produksi pangan di berbagai jenis
                 komoditas. Itu artinya data keberhasilan yang diklaim pemerintah memang
                 masih perlu diperiksa kesahihannya.
                      Saya juga menilai pemerintah kembali masuk dalam jebakan
                 ala Revolusi Hijau saat menyusun kebijakan  sektor pertanian, karena
                 kemudian yang dikejar hanyalah target produksi pangan. Pemerintah jadi
                 mengabaikan banyak hal penting, seperti kesejahteraan petani, misalnya,
                 serta pentingnya memperhatikan soal kedaulatan.

                      Lihat saja, untuk meningkatkan produksi jagung, misalnya,
                 pemerintah bekerja sama dengan Bayer-Monsanto untuk penyediaan
                 benih. Begitu juga untuk padi. Pada tahun 2017, sekitar 300 ribu ton benih
                 berasal dari korporasi (60 persen), dan sisanya berasal dari perusahaan
                 benih BUMN (40 persen). Dengan fakta-fakta ini, jangan heran jika
                 keuntungan dalam peningkatan produksi pangan kemudian tak lagi
                 dinikmati  oleh  petani,  melainkan  dinikmati  oleh  korporasi.  Pemerintah
                 seolah tak melihat bahwa kedaulatan piring makan kita seharusnya dimulai
                 dari kedaulatan benih dan pupuk.
                      Sepanjang 2017, saya juga belum melihat pemerintah serius
                 mengerjakan agenda reforma agraria. Padahal, masalah utama petani di
                 pedesaan adalah ketimpangan penguasaan, pemilikan dan pemanfaatan
                 tanah. Ketimpangan justru semakin melebar khususnya dalam tiga dekade
                 terakhir. Sumber-sumber agraria di pedesaan kini dikuasai oleh korporasi.

                      Sayangnya, pemerintah kemudian menerjemahkan agenda reforma
                 agraria sebagai agenda bagi-bagi sertifikat tanah. Padahal, bagi mereka
                 yang belajar kajian agraria, tahapan awal dari reforma agraria adalah
                 registrasi tanah. Tujuannya adalah untuk mengetahui tingkat ketimpangan
                 pemilikan  tanah. Sementara, sertifikasi  adalah tahapan  paling  akhir.
                 Bukankah menggelikan di satu sisi pemerintah menjanjikan reforma
                 agraria, namun tanah obyek reforma agrarianya sendiri tidak jelas?!
                      Lebih ironis lagi, selama masa pemerintahan Presiden Joko Widodo
                 konflik agraria justru meningkat drastis. Selama tiga tahun pemerintahan
                 Jokowi-JK, menurut data KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria), terjadi



                504 KATA FADLI
   472   473   474   475   476   477   478   479   480   481   482