Page 36 - BUKU TIGA - WAJAH BARU PARLEMEN INDONESIA 1959-1966
P. 36
SEABAD RAKYAT INDONESIA
BERPARLEMEN
pernyataan tentang adanya kekhilafan dalam siaran Kementerian
Penerangan di RRI tanggal 13 Januari 1959 47
Sementara itu, Dewan Konstituante, sebagai dewan penyusun
undang-undang dasar, makin didesak untuk membuat keputusan agar
kembali ke UUD 1945. Ketika akhirnya dewan ini gagal mengambil
keputusan melalui voting hingga tiga kali pada akhir Mei hingga
awal Juni 1959, Kepala Staf Angkatan Darat, dengan alasan adanya
pertentangan yang semakin genting, mengeluarkan peraturan Nomor
Prt/Peperpu/040/1959 tanggal 3 Juni 1959 yang melarang adanya
kegiatan-kegiatan politik. Akhirnya, pada 5 Juli 1959 dikeluarkan
Dekrit Presiden yang di dalamnya berisi pernyataan pembubaran
Konstituante, tidak berlakunya UUDS 1950, berlakunya kembali UUD
1945, dan pembentukan MPRS dan DPAS dalam waktu sesingkat-
singkatnya. Pada saat inilah masa Demokrasi Terpimpin dimulai.
2.2. DPR Setelah Dekrit Presiden 5 Juli
1959: Senjakala Fungsi Parlemen
Sementara Dalam paham konstitusionalisme modern, tidak ada satu organ
itu, Dewan negara pun yang bebas dari kontrol atau pengawasan. Dalam kerangka
itulah, keberadaan lembaga legislatif atau parlemen menjadi urgen
Konstituante, dan strategis dengan fungsi dan kewenangan yang melekat padanya.
sebagai dewan Hal itu dimaksudkan agar penyelenggaraan negara terutama eksekutif
penyusun undang- tidak sampai terjerembab pada tindakan kesewenang-wenangan atau
undang dasar, penyalahgunaan kekuasaan. Pengawasan ini memiliki arti penting
tidak hanya untuk berfungsinya parlemen, namun juga demi jalannya
makin didesak pemerintahan karena akan memberi umpan balik (feed back) bagi
untuk membuat perbaikan pengelolaan pembangunan sehingga tidak keluar dari
keputusan agar jalur atau tahapan dan tujuan yang telah ditetapkan. Selain dibekali
kembali ke fungsi pengawasan (supervisory powers), lembaga parlemen juga
lazim diberikan fungsi lain, yakni fungsi legislasi dan anggaran.
UUD 1945. Fungsi legislasi, anggaran, dan fungsi pengawasan tersebut melekat
sebagai pengejawantahan prinsip konstitusionalisme, utamanya untuk
memastikan terlindunginya warga negara dari tindakan sewenang-
wenang pemerintah.
Dewan Perwakilan rakyat (DPR), dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia, merupakan lembaga negara yang menjalankan fungsi-
fungsi parlementer tersebut. Dalam hal pengawasan, Ismail Suny
menyebutnya sebagai fungsi badan legislatif dalam suatu masyarakat
47 Duta Masyarakat, 7 Maret 1959 hlm. 1
dpr.go.id 30